Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan
Berita

Dalih Wewenang Pembentuk UU, MK Tolak Perluasan Pasal Kesusilaan

Empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang menyimpulkan seharusnya MK mengabulkan permohonan para pemohon. Sebab, upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim (konstitusi).

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

“Manakala terdapat norma UU yang mereduksi, mempersempit, melampaui batas, dan/atau justru bertentangan dengan nilai agama, maka norma UU itulah yang harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan nilai agama dan ajaran ketuhanan,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

 

Dalam konteks kriminalisasi, mereka sependapat bahwa Mahkamah seharusnya mengambil sikap membatasi diri (judicial restraint) untuk tidak menjadi “positive legislator” dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Akan tetapi, persoalannya norma UU a quo secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat ‘terberi’ (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.

 

“Sebab adultery dan fornication sejatinya merupakan mala in se dan bukan mala prohibita karena sifat ketercelaannya (verwijtbaarheid) bersifat intrinsik dan jelas disebutkan dalam Al Qur’an serta berbagai kitab suci lain, sehingga aspek persetujuan (perwakilan) rakyat tidak menjadi aspek yang sine qua non seperti ketika suatu negara harus memutuskan akan melakukan atau tidak melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang bersifat mala prohibita,” jelas Aswanto.

 

Aswanto menerangkan dengan menyatakan bahwa zina seharusnya meliputi adultery dan fornication, Mahkamah sejatinya memang tidak menjadi “positive legislator” atau memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Akan tetapi, (seharusnya) mengembalikan konsep zina sesuai nilai hukum dan keadilan menurut berbagai nilai agama dan hukum yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, yang (selama ini) telah dipersempit ruang lingkupnya selama ratusan tahun oleh hukum positif “warisan” pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga hanya meliputi adultery (perzinaan) saja berdasarkan Pasal 284 KUHP.

 

Karena itu, Mahkamah dalam konteks ini seharusnya ber-ijtihad (menciptakan hukum), melakukan moral reading of the constitution dan bukan justru menerapkan prinsip judicial restraint. Upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim. Sebab, melalui judicial activism, hakim (khususnya hakim konstitusi) justru berkewajiban untuk menjaga, meluruskan, dan menyeleraskan hukum pidana dengan dinamika kehidupan masyarakat.

 

“Dengan demikian, berdasarkan ratio decidendi sebagaimana tersebut di atas, kami berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” tegas Aswanto.

Tags:

Berita Terkait