Darurat Peradaban Hukum: Aksi Aktif Peradi dengan Universitas Krisnadwipayana dalam Memperbaiki Tatanan Hukum Indonesia
Pojok PERADI

Darurat Peradaban Hukum: Aksi Aktif Peradi dengan Universitas Krisnadwipayana dalam Memperbaiki Tatanan Hukum Indonesia

Kedaruratan hukum menjadi isu yang dibicarakan karena sangat bertentangan dengan asas ‘Trias Politica’ yang dianut oleh Indonesia. Hal ini perlu diluruskan kembali melalui tingkat eksekutif tertinggi yaitu Presiden RI.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 3 Menit
Para pembicara, Gayus Lumbun, Otto Hasibuan dan Hartarto bersama moderator R. H. Muchtar dalam seminar nasional kerja sama Peradi-Unkris. Foto: istimewa.
Para pembicara, Gayus Lumbun, Otto Hasibuan dan Hartarto bersama moderator R. H. Muchtar dalam seminar nasional kerja sama Peradi-Unkris. Foto: istimewa.

Kedaruratan negara hukum menjadi isu yang sangat hangat baru-baru ini. Apalagi, mengingat Indonesia dibangun oleh para founding father Indonesia sebagai negara hukum. Sejumlah kasus yang terjadi baru baru ini merusak konstruksi yang dibuat oleh para founding father Indonesia. Para akademisi, praktisi, beserta pemerintah bertanggung jawab untuk terjun langsung dan memberikan pendapatnya atas isu kedaruratan negara hukum yang sedang berlangsung saat ini.

 

Itu sebabnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Universitas Krisnadwipayana (Unkris) menggelar seminar nasional pada Rabu (19/10) dengan tema utama ‘Darurat Peradaban Hukum: Sejauh Mana Kewenangan Presiden terhadap Lembaga Yudikatif’. Tema ini dipilih berdasarkan teori ‘Trias Politica’ di mana posisi presiden menjadi kunci strategis dalam memperbaiki Indonesia sebagai negara hukum. Beberapa poin yang menjadi sorotan, yakni bagaimana presiden dapat mengambil  tindakan tepat dan konstitusional untuk menyelamatkan praktik penegakan hukum di Indonesia saat ini; dan apakah kekuasaan yudikatif dapat memperbaiki dirinya sendiri tanpa dukungan dan peran dengan kekuasaan lain terutama dari presiden?

 

Dalam laporannya, Ketua Pelaksana Dr H. Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H. menyampaikan, seminar nasional diadakan secara daring dan luring. Seminar luring, bertempat di Gedung Pendopo Unkris, sementara daring—diselenggarakan via Zoom Meeting. “Dalam acara ini secara luring telah hadir 173 orang, dan secara daring sebanyak 980 orang peserta. Sehingga totalnya mencapai 1153 orang,” Kata Hermansyah.

 

Hadir memberi sambutan, Rektor Universitas Krisnadwipayana, Dr. Ir. Ayub Muktiono, M. SiP., CIQaR., mengungkapkan, tema yang diangkat dalam seminar—yaitu darurat peradaban hukum—adalah bentuk kesadaran, kepedulian kaum cendekiawan dalam bidang hukum, khususnya hukum tata negara; akademisi; hingga praktisi bidang hukum dan masyarakat.

 

“Dengan tema darurat peradaban hukum bahwa dari sisi kehidupan dari hulu hingga hilir kita menilai dalam kondisi krisis darurat,” ujar Ayub.

 

Mewakili pemerintah, telah hadir Plt Dirjen Perundang-undangan Kemenkumham, Dr. Dhahana Putra Bc. IP S.H., M.Si. Dalam pandangannya, forum akademis yang ada di kampus-kampus dapat menjadi wadah diskusi secara terbuka mengenai hukum dalam tataran teoretis, law in the books. Ia juga membuka acara dengan semangat perbaikan hukum di Indonesia“Dalam bentuk cita-cita bagaimana seharusnya dashform dengan apa yang terjadi, hukum sebagai fakta,” Dhahana menambahkan.  

 

Langkah Baru untuk Penegakan Hukum

Hukumonline.com

Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan sebagai pembicara kedua sedang menyampaikan materinya. Foto: istimewa.

 

Sebagai Keynote Speaker, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H., memaparkan bahwa peradaban negara hukum di Indonesia sebagai konstruksi yang dibentuk penyelenggara, berada dalam keadaan genting. Menurutnya, hampir dari semua lini, fungsi negara hukum sedang bermasalah. Mulai dari sektor law making hingga law enforcement; dari hulu hingga hilir semuanya sedang bermasalah.

 

Hal ini dilanjutkan dengan penjelasan Prof. Dr. T. Gayus Lumbuun, S.H., M.H. Bersama-sama dengan Peradi, Unkris ingin mengukur sejauh mana kewenangan presiden sebagai kedudukan tertinggi di eksekutif bisa menyikapi keadaan di yudikatif. “Bahwa kedaruratan hukum ini sudah dirasakan oleh masyarakat. Di mana kedaruratan yang dirasakan dalam bentuk abnormal dari yang seharusnya di negara ini. Bagaimana akhlak yang semestinya ditunjukan oleh penegak hukum,” Gayus menegaskan.

 

Adapun Dr. Hartanto, S.H., M.H., menyarankan, dalam kondisi kritis, presiden harus melakukan diskresi. Apalagi, ada aturan yang dilanggar yudikatif sebagai pelaksana hukum.   

 

Sementara itu, Ketua DPN Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. mengungkapkan, Peradi telah membuat catatan khusus, presiden berhasil dalam memimpin bangsa ini. Namun, dalam catatan tersebut, dalam bidang hukum presiden masih sangat lemah. Hal ini telah disuarakan Peradi sejak dulu.

 

Hukumonline.com

Panitia dan pimpinan Peradi dan Unkris berfoto bersama seluruh narasumber dan keynote speaker. Foto: istimewa.

 

Otto berharap, seminar ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk rekomendasi penegakan hukum kepada pimpinan pemerintahan—dalam hal ini presiden—untuk segera membentuk tim khusus guna merespons darurat peradaban hukum. Langkah reformasi juga diperlukan, demi menegakkan kembali hukum sebagai panglima tertinggi.

 

“Dalam kondisi seperti ini kami sepakat bahwa keadaannya sudah darurat. Kalau sudah darurat, presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum ini. Presiden harus membuat policy dalam penegakan hukum di semua lini kementerian dan lembaga negara Indonesia,” pungkas Otto.

 

Artikel ini merupakan kerjasama Hukumonline dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi)

Tags: