Dibahas Dua Periode, Akhirnya RUU Perlindungan Pekerja Migran Disetujui
Berita

Dibahas Dua Periode, Akhirnya RUU Perlindungan Pekerja Migran Disetujui

Mencabut UU No. 39 Tahun 2004.

Ady TD Achmad/RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP

Sebelum mengakhiri pidatonya, Dede Yusuf Macan Efendi menyampaikan terima kasih kepada banyak pihak termasuk legal drafter. Ketua Komisi IX DPR itu juga menyampaikan dua harapan kepada Pemerintah: pertama, segera melakukan sosialisasi; dan kedua, segera menyusun peraturan pelaksanaan yang diamanatkan RUU agar nanti bisa efektif dijalankan. “Agar RUU ini dapat berlaku efektif,” ujarnya.

 

Kalimat itu bagian dari pidato laporan Dede Yusuf kepada Rapat Paripurna DPR, Rabu (25/10), berkaitan dengan pembahasan RUU tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). RUU ini sudah dibahas dalam dua periode keanggotaan DPR, dan akhirnya Pemerintah dan DPR memberikan persetujuan bersama agar RUU PPMI disahkan menjadi Undang-Undang.

 

Dede melaporkan proses pembahasan dan perubahan substansi. RUU ini pada awalnya adalah revisi terhadap UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Setelah mengalami perubahan di sana sini, termasuk judul, Pemerintah dan DPR setuju membuat UU baru bernama UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

 

“RUU PPMI ini merupakan sebuah RUU yang berupaya mengoreksi kelemahan dalam tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migrant Indonesia,” kata Dede Yusuf.

 

(Baca juga: RUU PPMI Menuju Tahap Penyelesaian).

 

Setelah RUU ini nanti resmi disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara, maka UU No. 39 Tahun 2004 otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Adopsi Konvensi PBB

Berkaitan dengan proses pembahasan RUU PPMI, Jaringan Buruh Migran (JBM) menilai RUU PPMI belum sepenuhnya mengadopsi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Padahal, Konvensi ini telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012. Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Dinda Nurannisaa Yura, melihat Konvensi PBB itu menjadi konsideran RUU PPMI, tapi aturan substantif RUU PPMI belum mencerminkan amanat konvensi.

 

(Baca juga: Komite PBB Perlu Tagih Komitmen Pemerintah Indonesia Soal Perlindungan Buruh Migran).

 

RUU PPMI mengakui bekerja merupakan hak setiap warga negara, tapi posisi pekerja migran masih menjadi objek, bukan subjek. Misalnya, pekerja migran sektor domestik harus mendaftar melalui perusahaan penempatan. Ini bertentangan dengan konvensi yang memberi kebebasan pekerja migran untuk memilih cara yang digunakan untuk bekerja ke luar negeri. Pemerintah perlu membuat peraturan yang mengakomodir jaminan dan prosedur bagi pekerja migran yang ingin berangkat secara mandiri.

 

Perempuan yang disapa Nisaa itu mengatakan pekerja migran sektor domestik sangat rentan mengalami kekerasan dan pelanggaran HAM. Apalagi mayoritas pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik kebanyakan perempuan. Mereka harusnya menjadi subjek yang dilindungi pemerintah, bukan mengalihkan perlindungan itu kepada swasta.

 

“Mewajibkan pekerja migran sektor domestik untuk mendaftar melalui PPTKIS/PJTKI akan menciptakan ketergantungan perempuan terhadap pihak swasta, sehingga mereka terus dalam posisi rentan dan tereksploitasi,” katanya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu (25/10).

 

Nisaa berpendapat pemerintah luput memperhatikan nasib pekerja migran yang banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Terbukti dari absennya sinkronisasi antara RUU PPMI dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

 

RUU PPMI mengamanatkan pemerintah untuk menempatkan pekerja migran ke negara yang memiliki peraturan ketenagakerjaan dan perjanjian bilateral dengan Indonesia. Selama ini masih ditemukan penempatan ke negara yang belum memiliki perjanjian bilateral atau MoU dengan Indonesia. Ke depan Pemerintah harus tegas dan berani menentukan substansi yang diatur dalam perjanjian bilateral sehingga mampu memberi perlindungan terhadap pekerja migran.

 

Konvensi menyebut negara pengirim dan penerima pekerja migran dapat melakukan perjanjian kerjasama untuk mereduksi dan menangani pekerja migran tidak berdokumen lengkap, lazim disebut ireguler. Termasuk mengatur jaminan sosial bagi pekerja migran dan anggota keluarganya.

 

(Baca juga: Lindungi Buruh Migran, ASEAN Butuh Instrumen Hukum yang Mengikat).

 

Program Associate ASEAN Advocacy HRWG, Wike Devi Permatasari, menekankan pentingnya penguatan Atase Ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan untuk pekerja migran. Pemilihan Atase Ketenagakerjaan harus berdasarkan kompetensi. Bukan pangkat atau golongan pejabat publik. Penguatan kapasitas dan fungsi Atase Ketenagakerjaan sangat penting karena dia bertanggungjawab mendata, verifikasi, memfasilitasi, dan menangani masalah ketenagakerjaan di negara tujuan.

 

Penguatan serupa, kata Wike, perlu dilakukan untuk staf perwakilan Indonesia di luar negeri. “Kami memandang perlu adanya mekanisme evaluasi terbuka yang melibatkan masyarakat sipil dan pekerja migran terkait kinerja, pelayanan, dan perlindungan yang diberikan staf perwakilan RI di luar negeri,” urainya.

Tags:

Berita Terkait