Pemerintah Kesulitan Menyusun Komponen Biaya Penempatan Buruh Migran Terbaru
Berita

Pemerintah Kesulitan Menyusun Komponen Biaya Penempatan Buruh Migran Terbaru

Komponen biaya untuk penempatan sudah banyak berubah.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP
Migrasi merupakan hak setiap orang. Negara perlu mengatur proses perpindahan penduduk guna memberi perlindungan yang terbaik bagi warganya. Salah satu faktor yang mendorong orang untuk bermigrasi adalah mencari kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Selama ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengirim buruh migran, mayoritas didominasi sektor domestik. Tapi ada juga warga Indonesia yang menjadi buruh migran di luar negeri dan bekerja di sektor formal.

Pemerintah telah mengatur proses migrasi untuk tujuan bekerja melalui UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN). Saat ini Undang-Undang PPTKILN dalam proses perubahan, pembahasan masih dilakukan DPR dan Pemerintah, dan termasuk salah satu Prolegnas prioritas 2017. (Baca juga: Revisi UU PPTKILN, DPR Komitmen Lindungi TKI).

Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Soes Hindharno, mengatakan salah satu ketentuan yang diatur UU PPTKILN mengamanatkan Pemerintah menerbitkan peraturan mengenai komponen biaya penempatan buruh migran. (Baca juga: Biaya Penempatan TKI Mahal, Dampaknya Mengkhawatirkan).

Soes menjelaskan sejak 2012 amanat itu sudah tertuang dalam sejumlah Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker).  Permenaker diterbitkan dalam beberapa jenis karena biaya yang dibutuhkan untuk menempatkan buruh migran berbeda-beda, tergantung negara yang menjadi tujuan. Misalnya, Kepmenaker No. 98 Tahun 2012 tentang Komponen dan Besarnya Biaya Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hongkong SAR, atau Kepmenakertrans No. 588 Tahun 2012 yang mengatur biaya penempatan ke Singapura.

Walau ada besaran berbeda pada setiap keputusan atau peraturan, pada dasarnya komponen yang diatur sama. Seperti biaya pengurusan paspor, pendidikan dan pelatihan serta kesehatan. Soes menyebut untuk biaya pemeriksaan kesehatan untuk satu paket sebesar Rp670 ribu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 26 Tahun 2015 tentang Tarif Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia.

Sayangnya, biaya yang tertuang dalam Kepmenaker dan beberapa peraturan terkait itu tidak sesuai fakta di lapangan. Soes menemukan biaya tes pemeriksaan kesehatan bisa sampai Rp1,5 juta. Biaya itu melambung karena buruh migran tidak mengurus sendiri dokumen yang diperlukan tapi menggunakan jasa pihak ketiga. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah itu dengan membentuk layanan terpadu satu atap di wilatah kantong buruh migran. (Baca juga: Menaker Imbau TKI Gunakan Jalur Resmi).

Selain itu Soes mengatakan pemerintah akan merevisi Kepmenaker tentang komponen biaya penempatan itu karena besarannya sudah tidak sesuai lagi. Namun pemerintah mengalami kesulitan karena beberapa komponen tidak bisa dipastikan nominalnya. Misalnya, tiket pesawat ke negara penempatan harganya setiap waktu berbeda. "Kami kesulitan membentuk aturan mengenai komponen biaya penempatan terbaru," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (06/4).

Walau menghadapi kendala, proses revisi Kepmenaker itu terus bergulir. Soes mengatakan pihaknya masih melakukan pembahasan secara rutin yang melibatkan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu buruh migran dan asosiasi pengusaha. Dia menegaskan komponen biaya penempatan itu harus diatur secara jelas, transparan dan akuntabel. Kemudian mengatur apa saja yang menjadi tanggungan pemerintah, pengguna dan buruh migran. "Ongkos penempatan buruh migran ini harus jelas, harga yang ditetapkan harus bisa dijalankan. Jika tidak begitu kami khawatir dianggap melakukan kebohongan publik," ujarnya.

Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan pemerintah selayaknya meninjau kembali komponen biaya penempatan itu. Harus ditegaskan mana biaya yang menjadi ranah masing-masing pihak, misalnya pemerintah membantu dalam hal pengurusan paspor.

Pemerintah juga perlu memangkas secara signifikan komponen biaya yang selama ini memberatkan buruh migran seperti pendidikan dan pelatihan yang mencapai Rp10 juta. Pemerintah bisa mengintegrasikan program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang selama ini berjalan dengan pelatihan bagi calon buruh migran.

Untuk membantu pemerintah menyusun peraturan terbaru mengenai komponen biaya penempatan, Wahyu mengusulkan agar persoalan itu dibahas bersama pemangku kepentingan. Paling penting, komponen biaya penempatan itu jangan membebani buruh migran karena itu faktor yang membuat buruh migran terjerat utang. Akhirnya terjebak sindikat perdagangan orang dengan modus memberi pinjaman uang dengan bunga tinggi.

“Dengan membenahi aturan komponen biaya penempatan itu pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran yang besar tapi bisa menyelamatkan buruh migran dari modus perdagangan orang,” pungkas Wahyu.
Tags:

Berita Terkait