Didakwa Bersama-sama, Dituntut Berbeda
Korupsi TWP TNI AD:

Didakwa Bersama-sama, Dituntut Berbeda

Disparitas tuntutan pidana terjadi karena Dedy Budiman Garna dianggap paling besar menikmati uang hasil korupsi dan juga pernah dihukum oleh pengadilan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Atas tuntutan JPU tersebut, Firman Wijaya, penasehat hukum Dedy Budiman Garna kepada hukumonline menyatakan tuntutan JPU diskriminatif. Firman melihat bahwa peran Dedy dalam perkara ini tidaklah sevital Ngadimin maupun Samuel. Ngadimin dan Samuel berperan sejak pembuatan komitmen (akta perjanjian antara BPTWP dengan Yayasan Manahaim) hingga pencairan dana. Sedangkan Dedy tidak terlibat, tegas Firman.

 

Hudi membantah pernyataan Firman. Menurutnya, Dedy lebih berhak mendapatkan hukuman yang lebih berat karena dinilai lebih besar menikmati uang hasil korupsi dana TWP. Selain itu, ia (Dedy) juga pernah dihukum oleh pengadilan dalam perkara lain, Hudi menambahkan alasan pemberat bagi Dedy.

 

Sementara Ariano Sitorus, penasehat hukum yang lain, mengaku heran atas tuntutan JPU yang terkesan dipaksakan. Sejak awal Sitorus berpendapat bahwa perkara yang menimpa kliennya tersebut adalah perkara perdata. Karena perkara ini sebenarnya diawali dari perjanjian perdata antara Badan Pengelola Tabungan Perwira (BP TWP) TNI AD dengan Yayasan Mahanaim, ujarnya. Jadi, lanjut Sitorus, kalaupun ada pelanggaran, sebenarnya hanya masuk kedalam wilayah hukum perdata.

 

Selain itu, Sitorus menilai JPU telah salah kaprah dengan menyebutkan bahwa dana TWP TNI AD termasuk kedalam keuangan negara. Mengutip pendapat Arifin Soeria Atmadja, saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum dalam persidangan sebelumnya, Sitorus berpendapat bahwa  dana TWP bukanlah keuangan negara, melainkan uang prajurit.

 

Arifin Soeria Atmadja, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saat itu memang menyatakan bahwa dana TWP tidak termasuk keuangan negara. Karena sumber dana TWP adalah berasal dari gaji para prajurit Angkatan Darat. Meskipun gaji berasal dari APBN, namun ketika sudah berada di tangan prajurit sebagai gaji, maka menjadi uang privat. Tidak ada lagi unsur negara di dalamnya, ungkap Arifin.

 

Keterlibatan Pejabat Tinggi TNI AD?

Firman juga mengaku kecewa karena hanya ketiga terdakwa yang diajukan ke persidangan. Padahal, tambah Firman, diduga ada keterlibatan pejabat tinggi di tubuh TNI AD yang terlibat dalam proses pembahasan sebelum terjadi kesepakatan antara BP TWP TNI AD dengan Yayasan Manahaim.

 

Pada tahap pengambilan kebijakan, ada mekanisme internal di tubuh TNI AD yang memberikan pertimbangan-pertimbangan dan pandangan sebelum terjadi kesepakatan. Tapi kenapa para pengambil kebijakan tersebut tidak juga diproses secara hukum? Firman mempertanyakan.

Tags: