Dilema Sistem Pemilu Serentak
Utama

Dilema Sistem Pemilu Serentak

Pemilu Serentak 2019 merupakan amanat konstitusi, tapi pelaksanaannya menimbulkan banyak korban tewas. Pemilu serentak ini diusulkan dibagi pemilu nasional dan pemilu daerah.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Prof Satya Arinanto mengatakan Indonesia terus melakukan perbaikan sistem pemilu. Alasan digelarnya pemilu secara serentak agar penyelenggaraannya dapat dilakukan secara efisien. Bahkan, rencana Pemilu 2024 bakal dilaksanakan dengan 7 kotak, ditambah pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota secara serentak.

 

Menurutnya, sistem pemilu serentak sebenarnya sudah baik, meski demikian perlu penyempurnaan agar pelaksanaannya lebih baik. “Ini bukan berarti sistemnya tidak bagus, tapi karena disesuaikan setiap zaman. Setiap periode, penyelenggaraan pemilu pasti dibenahi,” kata Prof Satya Arinanto dalam sebuah seminar bertajuk “Evaluasi Pemilu Serentak” di FHUI Depok beberapa waktu lalu.

 

Memperkuat sistem presidensial

Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Fitra Arsil melihat persoalan yang terjadi dalam Pemilu 2019 bisa jadi terkait masalah tata kelola penyelenggaraan pemilu. Mengacu pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD RI 1945, pemilu dilaksanakan secara serentak. Pemilu serentak ini terkait dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial.

 

Ada pandangan yang menyebut sistem presidensial punya cacat sejak lahir yakni pemenang pemilu presiden bukan berarti pemenang pemilu anggota legislatif/parlemen. Ini terjadi karena sistem presidensial menggunakan 2 kali pemilu yakni untuk memilih presiden dan anggota DPR/parlemen.

 

Jika partai politik (parpol) yang mendukung presiden terpilih tidak mampu memenangkan pemilu legislatif, jumlah parpol pendukung presiden di parlemen jumlahnya minim, Arsil menilai peluang terjadinya konflik antara pemerintah dan parlemen sangat besar. Karena dukungan yang minim di parlemen, bisa jadi parlemen terbelah antara pro dan kontra pemerintah. Ujungnya setiap kebijakan yang dihasilkan pemerintah tidak mendapat dukungan politik dari parlemen dan terancam deadlock.

 

Muncul gagasan agar sistem pemerintahan presidensial bisa lepas dari kondisi yang tidak menguntungkan itu, yakni menggabungkan penyelenggaraan pemilu Presiden dan Parlemen pada satu waktu yang sama. Diharapkan hasil pemilu Presiden kongruen dengan hasil pemilu Parlemen. Sehingga parpol pemenang pilpres sekaligus dapat memenangkan pemilu parlemen.

 

Arsil mengatakan sistem pemilu di Indonesia menggunakan presidential treshold atau ambang batas perolehan suara parpol yang dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini diatur Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 yang membuat kandidat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut Pemilu 2019 jumlahnya sedikit.

Tags:

Berita Terkait