DPR: Jangan Cari Dana Kampanye Di Luar Ketentuan!
Berita

DPR: Jangan Cari Dana Kampanye Di Luar Ketentuan!

DPR menyerahkan sepenuhnya kepada KPK terkait penangkapan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Perilaku tindak pidana korupsi masih saja terjadi di parlemen. Pasca penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, keanggotaannya di DPR pun terancam ditarik. Selain itu, Eni bisa terganjal masuk dalam daftar pencalegan Pemilu 2019 di partai tempatnya bernaung yakni Golongan Karya (Golkar).

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan berulangnya anggota dewan yang terciduk KPK atas dugaan kasus korupsi menjadi tamparan keras untuk kesekian kali bagi lembaga yang dipimpinnya. Terlebih, Eni Maulani Saragih merupakan kader partai Golkar. “Kami serahkan sepenuhnya ke KPK,” ujarnya di Komplek Gedung DPR, Senin (16/7/2018).

 

Ironis, Eni dicokok KPK jelang pendaftaran pencalonan anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Eni yang dipastikan bakal maju kembali dalam Pencalegan Pemilu 2019 diduga membutuhkan dana dalam kampanye. Meski partai politik mendapat dana operasi partai sebesar Rp1000 per satu suara, kader yang maju pencalegan juga mesti mengantongi dana kampanye sendiri.

 

Namun demikian, kata pria yang akrab Bamsoet ini melanjutkan, perihal ada pencarian dana kampanye apakah diperoleh melalui cara haram atau halal bergantung ke anggota dewan yang bersangkutan. Hanya saja, dia mengingatkan bahwa partainya tidak memberi tugas apapun terkait beban bagi anggota mencari dana di luar ketentuan yang berlaku.

 

“Sejauh yang saya ketahui tidak ada penugasan dan beban apapun dari partai untuk cari dana di luar ketentuan yang berlaku,” ujar mantan Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar itu.

 

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menyerahkan sepenuhnya ke penegak hukum, lantaran Eni telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, penyidik KPK pun mesti mengedepankan asas praduga tak bersalah. Menurutnya, anggota dewan yang mencari dana-dana yang tidak wajar perolehannya dipastikan bakal menerima akibatnya yakni berurusan dengan KPK.

 

Menurutnya, negara mestinya tak hanya membiayai dana operasional partai, namun pula perlu dipertimbangkan membiayai saksi-saksi. Sebab, jumlah saksi dalam Pemilu amat banyak. Apalagi, Pemilu 2019 digelar serentak antara pemilihan presiden dan pemilihan calon anggota legislatif. Meski tak menjamin perilaku korupsi hilang di parlemen, setidaknya ini dapat mengurangi. “Apabila itu ditanggung oleh negara itu jauh lebih baik,” harapnya.

 

Segel ruang kerja

Status tersangka yang disematkan ke diri Eni Maulani Saragih menambah daftar hitam bagi lembaga DPR. Selang berstatus tersangka, ruang kerja Eni di Gedung Nusantara I DPR pun disegel penyidik KPK. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Ahmad Dasco membenarkan adanya permintaan dari pihak penyidik KPK untuk menyegel ruangan Eni kepada alat kelengkapan dewan yang dipimpinnya.

 

Sejak Sabtu (14/7), Dasco sudah mendapat informasi perihal penangkapan terhadap Eni. Dasco pun mengaku tak mempersulit permintaan KPK untuk menyegel ruang kerja Eni. Meski belum mendapat surat penggeledahan dari KPK, MKD memberi ruang bagi penyidik KPK melakukan penggeledahan di ruang Eni sesuai dengan ketentuan UU.

 

“Sesuai UU, kami juga tidak mempersulit penyegelan sudah dilakukan tahap berikutnya adalah penggeledahan,” ujarnya.

 

Terkait nasib Eni di parlemen dari Fraksi Golkar, Bamsoet menegaskan belum ada keputusan apapun karena fraksinya menyerahkan sepenuhnya ke KPK. Penarikan kadernya yang menjadi anggota dewan dan tersandung kasus bakal diberikan sanksi setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

 

Namun beberapa preseden, kadernya di parlemen yang tersandung kasus, ketika berstatus tersangka langsung dinonaktifkan. “Tergantung dinamika di partai. Tetapi sekarang belum ada pembicaraan ke arah sana, karena masih sibuk menyiapkan daftar caleg sementara,” katanya.

 

Seperti diketahui, Eni Maulani Saragih dicokok penyidik KPK di rumah dinas pejabat negara di Jakarta, Jumat (13/7). Sejumlah bukti dikantongi KPK terkait adanya dugaan persekongkolan dan penerimaan uang sebagai fee terkait salah satu proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt. Diduga ada penerimaan hadiah atau janji oleh Anggota DPR RI terkait kesepakatan kontrak kerja sama Pembangunan PLTU Riau-1.  

Tags:

Berita Terkait