Dua Catatan PUSaKO dalam Penegakan Hukum Pemilu
Terbaru

Dua Catatan PUSaKO dalam Penegakan Hukum Pemilu

Seperti dimulai dengan proses rekrutmen penyelenggara pemilu di daerah mesti transparan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Deputi Direktur Bidang Organisasi Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura. Foto: RFQ
Deputi Direktur Bidang Organisasi Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura. Foto: RFQ

Potensi terjadi pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 perlu diantisipasi dengan berbagai instrumen. Faktanya, acapkali penyelenggaraan pemilu pelanggaran demi pelanggaran kerap kali terjadi. Bahkan mekanisme penyelesaian hukum kepemiluan pun masih belum memuaskan. Karenanya, perlu penegakan hukum kepemiluan yang jauh lebih kuat.

Deputi Direktur Bidang Organisasi Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan penegakan hukum kepemiluan menjadi penentu terciptanya pemilu yang jujur dan adil atau free and fair election. Menurutnya, dengan mengacu data indeks kerawanan Pemilu serentak 2019 dan Pilkada serentak 2020 lalu sebagaimana dirilis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terdapat potensi terjadinya hal yang sama dalam proses penyelenggaran Pemilu Serentak 2024.

Setidaknya, kata Charles, mengacu data tersebut terdapat beberapa bentuk pelanggaran yang berpotensi akan masif terjadi. Seperti ujaran kebencian dan politisasi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Kemudian persoalan netralitas aparatur sipil negara (ASN), TNI, Polri, dan termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Selain itu, potensi terjadinya intimidasi berupa kekerasan non fisik atas relasi kuasa kepada pemilih, pelanggaran administratif. Begitu pula pelanggaran penyelenggara pemilu, tindak pidana pemilu, serta bentuk pelanggaran lainnya. Nah dalam upaya mengatasi berbagai potensi berbagai pelanggaran tersebut diperlukan keseriusan dalam menegakkan hukum kepemiluan.

“Diperlukan keseriusan penyelenggara pemilu untuk menutup celah-celah terjadinya pelanggaran pemilu pada proses tahapan Pemilu 2024,” ujarnya dalam sebuah diskusi seccara daring, Minggu (16/10/2022).

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) FH Universitas Andalas itu melanjutkan situasi pemilu serentak 2024 mendatang bakal jauh lebih kompleks. Sebab, dilaksanakannya pemilu serentak dan pilkada serentak di tahun yang sama. Kondisi tersebut bakal berpengaruh besar terhadap upaya penegakan hukum pemilu.

Dia menilai kompleksitas tersebut bakal semakin terasa. Sebab, saat ini MK telah menjadi lembaga peradilan pemilihan dalam sengketa pilkada yang bersifat permanen. Hal tersebut merupakan implikasi lahirnya Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 terutama pada poin [3.22] pertimbangan Mahkamah.

Charles menuturkan telah terintegrasinya sistem penyelesaian sengketa hasil pemungutan suara pemilu dan pilkada tentu berdampak pada bertumpuknya tugas MK dalam penanganan perkara pemilu. Dalam mengatasi potensi tersebut, penyelenggara pemilu terutama Bawaslu perlu melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran pemilu.

“Terdapat beberapa catatan bagi penyelenggara pemilu terkait penegakan hukum pada proses tahapan pemilu 2024,” ujarnya.

Pertama, proses rekrutmen penyelenggara pemilu di setiap daerah harus dilakukan dengan transparan dan akuntabel demi terbentuknya penyelenggara pemilu yang profesional. Dia berpandangan profesionalitas penyelenggara pemilu sangat dibutuhkan mengingat bakal terjadinya irisan dan himpitan pelaksanaan proses tahapan pemilu dan pilkada serentak yang dapat menambah beban kerja penyelenggara pemilu.

“Himpitan tugas dan beban kerja penyelenggara harus dimitigasi dengan sebaik mungkin dalam upaya menghindari kegagalan pelaksanaan proses tahapan pemilu dan pilkada,” ujarnya.

Kedua, dala, upaya memitigasi terjadinya penumpukan perkara di MK, keberhasilan Bawaslu dalam mencegah terjadinya pelanggaran yang berimplikasi pada perolehan hasil suara menjadi kunci utama. Nah Bawaslu, pun harus mampu melakukan penyelesaian perkara dan memberikan putusan atas pelanggaran yang diterimanya. Dalam upaya melakukan hal tersebut, diperlukan sistem khusus.

“Yakni pencegahan dan penanganan pelanggaran yang terintegerasi dan berjenjang dengan memanfaatkan sistem informasi dan pelaporan secara digital,” katanya.

Sementara Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fisip Universitas Indonesia., Hurriyah menambahkan ada banyak hal yang perlu dilakukan. Sebab, pekerjaan rumah dalam penyelenggaraan pemilu serentak cukup banyak. Karenanya, perlu upaya meningkatkan dari hulu ke hilir sejak proses rekrutmen hingga keterpilihan. Dia menilai upaya memaksimalkan penyelenggaraan pemilu tak hanya berada di pundak penyelenggara pemilu, tapi menjadi kepentingan bersama. “Ada banyak tantangan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait