Ferdy Sambo akhirnya bernapas lega setelah lolos dari hukum pidana mati dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat melalui putusan kasasi. Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasi 813K/Pid/2023 mengubah hukuman yang diberikan pengadilan tingkat pertama dengan pidana mati dan dikuatkan dengan tingkat banding, menjadi seumur hidup. Lantas apa yang menjadi pertimbangan majelis kasasi mengubah hukuman tersebut?
Majelis kasasi yang menangani perkara terdiri dari H Suhadi, dengan anggota Suarto, jupriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana. Putusan yang ditetapkan dalam rapat musyawarah majelis hakim, Selasa (8/8/2023) itu menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian pandangan menilai pidana mati sudah tepat untuk Ferdy Sambo yang terbukti telah melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama terhadap Nifriansyah Yosua Hutabarat atau dikenal juga dengan Brigadir J.
Putusan judex jurist dalam perkara itu intinya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I/penuntut Umum (Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) dan Pemohon Kasasi II/terdakwa (ferdy Sambo). Tapi, majelis kasasi memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.53/PID/2023/PT DKI, tanggal 12 April 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 796/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel tanggal 13 Februari 2023. Perbaikan itu menyasar soal kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara Seumur Hidup,” begitu kutipan sebagian amar salinan putusan putusan kasasi yang diperoleh Hukumonline.
Baca juga:
- Karier Polisi Ferdy Sambo Tamat
- Dosen Hukum Pidana FH Trisakti: Putusan Hakim Kasasi Kasus Sambo Tidak Konsisten
- Menkopolhukam: Kawal Putusan Kasasi Ferdy Sambo, Jangan Ada Kongkalikong
Sedikitnya ada 2 pokok pertimbangan yang digunakan majelis hakim kasasi dalam memutus perkara Ferdy Sambo. Pertama, memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan menurut ilmu hukum pidana, serta politik hukum pidana nasional paska diundangkannya UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional. Dalam KUHP baru itu, mengatur pidana mati dipandang sebagai pidana khusus, bukan lagi sebagai pidana pokok. Dengan begitu, semangat politik hukum pemidanaan di Indonesia bergeser dari retributif/pembalasan/ex stationis menjadi rehabilitatif.
Pemidanaan saat ini mengedepankan tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik/pemulihan keseimbangan, penciptaan rasa aman dan damai serta penumbuhan penyesalan terpidana. Dalam rangkaian peristiwa pembunuhan berencana yang dilakukan terdakwa terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat perlu dilihat kembali secara jernih, arif, dan bijaksana dengan mengedepankan asas obyektifitas dan proporsionalitas kesalahan terdakwa terhadap perbuatan yang telah dilakukan.