Dualisme Hukum Pencatatan Perkawinan dan Perlindungan Anak
Kolom

Dualisme Hukum Pencatatan Perkawinan dan Perlindungan Anak

Kebijakan SPTJM dinilai sangat bermanfaat dalam melindungi status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat.

Bacaan 5 Menit
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Dualisme hukum dalam perkawinan sah, yaitu sah menurut hukum agama, dan sah menurut hukum negara merupakan sebuah konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Pasal 2 ini terdiri dari dua ayat yakni, ayat 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu,” menjadi dasar perkawinan sah menurut hukum agama. Sedangkan ayat 2 yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,” menjadi dasar perkawinan sah menurut hukum negara.

Bagaimanapun, rumusan Pasal 2 tersebut merupakan bentuk kompromistis yang dapat dicapai selama dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Perkawinan dan yang paling banyak menyita waktu dan mengundang kontroversi. Keberadaan dualisme hukum tersebut kemudian direspon dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Undang-Undang tersebut ditemukan istilah perkawinan sah menurut hukum agama dan sah menurut hukum negara. Dua poin penting dalam pertimbangan Undang-Undang tersebut adalah perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia, dan pelayanan administrasi kependudukan yang tidak diskriminatif dan menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.

Sebagai tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran. Dalam upaya meningkatkan perlindungan anak, regulasi ini mengakui Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) kebenaran data kelahiran dan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami istri.

Berdasarkan SPTJM yang terakhir ini, pasangan yang tidak memiliki akta nikah/kutipan akta nikah, namun dalam Kartu Keluarga (KK) memiliki status hubungan dalam keluarga sebagai suami istri, maka anak yang lahir dari pasangan yang demikian dapat dicatat dalam Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran. Namun, pencatatan tersebut harus dengan formulasi kalimat anak dari Ibu kandung dan Ayah kandung dengan tambahan frasa “yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Dalam Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 (status sudah dicabut), SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami dibuat oleh orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung jawab penuh atas status hubungan perkawinan seseorang, dengan diketahui dua orang saksi (Pasal 1 angka 19). Sedangkan saksi dalam SPTJM adalah orang yang melihat atau mengetahui penandatanganan SPTJM (Pasal 1 angka 20).

Regulasi terakhir terkait SPTJM terdapat dalam Permendagri Nomor 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku Yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan. Selain dua SPTJM yang telah disebutkan sebelumnya, dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b terdapat SPTJM perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan/perceraian dalam KK bagi penduduk yang tidak mempunyai dokumen perkawinan berupa buku nikah, akta perkawinan atau kutipan akta perceraian. SPTJM tersebut dibuat oleh pasangan suami istri dengan dua orang saksi yang melihat/mengetahui/meyakini kejadian/peristiwa perkawinan dan telah memiliki NIK.

Kebijakan terkait SPTJM perkawinan belum tercatat ini menuai kontroversi. Kebijakan tersebut menimbulkan internal incompatibility (ketidaksesuaian antar ketentuan hukum dalam sebuah sistem hukum), yaitu antara kewajiban pencatatan perkawinan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan untuk mewujudkan ketertiban administrasi dan kepastian hukum pada satu sisi, dan pengakuan atas perkawinan siri (tidak tercatat) secara formal oleh negara pada sisi lain, yang tentu dikhawatirkan akan mendorong semakin maraknya perkawinan siri. Dengan pencantuman status perkawinan dalam KK sebagai kawin belum tercatat dan status perkawinan dalam KTP sebagai kawin, maka negara telah mengakui perkawinan tidak tercatat secara formal.

Kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat sebagai salah satu persyaratan pencantuman status perkawinan dalam KK ini bertujuan untuk mengoptimalkan perlindungan atas status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat. Sehingga apabila pasangan tidak memiliki buku nikah, cukup membuat tambahan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami istri, dan anak yang lahir dari pasangan tersebut dapat dicantumkan dalam Akta Kelahiran sebagai anak dari Ibu kandung dan Ayah kandung yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, dari perspektif kepentingan administratif, kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat ini memungkinkan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk secara menyeluruh dan tidak diskriminatif.

Namun, di sisi lain, kebijakan SPTJM perkawinan belum tercatat telah mereduksi peran negara dalam mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum bagi warga negara dalam hal perkawinan. Karena meski terdata secara administrasi, perlindungan hukum atas perkawinan tidak tercatat masih lemah, dan akan sangat merugikan bagi kelompok rentan, dalam hal ini perempuan dan anak.

Ketika berhadapan dengan hukum, tetap diperlukan alat bukti perkawinan menurut hukum, yaitu akta nikah atau buku nikah, bukan KK atau KTP. Jika tidak, maka tidak ada landasan hukum untuk mengajukan tuntutan atas hak-hak yang timbul akibat perkawinan (legal standing) maupun melakukan pelaporan atas perbuatan tindak pidana KDRT. Oleh karena itu, pasangan perkawinan tidak tercatat masih perlu mengajukan pengesahan nikah ke pengadilan agama untuk memperoleh kekuatan hukum atas perkawinan yang telah terjadi.

Dalam proses litigasi atas pengesahan nikah, syarat dan rukun perkawinan menjadi objek pemeriksaan, dan bukan hanya sekadar mendengarkan keterangan saksi yang mengetahui terjadinya perkawinan, seperti dalam pembuatan SPTJM perkawinan belum tercatat. Apabila perkawinan yang terjadi telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan, pengadilan akan menetapkan perkawinan yang belum tercatat tersebut sebagai perkawinan sah dan memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan penetapan pengadilan atas pengesahan perkawinan tersebut, kemudian dapat diterbitkan akta nikah atau buku nikah sebagai bukti perkawinan.

Selain itu, meski tercantum status perkawinan dalam KK sebagai kawin belum tercatat, dan dalam KTP sebagai kawin, apabila seorang laki-laki melakukan perkawinan tidak tercatat, laki-laki tersebut tidak akan terhalang secara hukum untuk melakukan perkawinan tidak tercatat lagi hingga sebanyak empat orang istri dalam waktu yang sama. Hal ini karena tidak memerlukan izin dari pengadilan agama, bahkan dapat melebihi empat orang istri karena untuk menikah siri tidak akan dilakukan verifikasi dan validasi data atas status perkawinan dalam KTP pelaku perkawinan siri, kecuali jika kemudian pelaku akan melakukan perkawinan secara tercatat di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini, negara baru memiliki kontrol atas perkawinan yang telah dan akan dilakukan oleh seorang warga negara.

Dualisme hukum dalam perkawinan sah di Indonesia menunjukkan bahwa hubungan antara agama dan negara belum selesai, masih ada ketegangan otoritas yang terjadi dalam hal penafsiran atas perkawinan sah. Kondisi yang demikian telah menimbulkan ambiguitas dalam penegakan hukum di bidang hukum keluarga, antara akibat hukum perkawinan sah menurut agama dan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara. Namun demikian, kebijakan SPTJM sangat bermanfaat dalam upaya perlindungan status hukum anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat dan hak-hak anak yang timbul sebagai akibat hubungan nasab anak yang lahir dari perkawinan tidak tercatat dengan ayahnya.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dan alumni Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait