Eks Jaksa Agung Sebut Persetujuan KUHP Kemunduran Demokrasi dan Penegakan HAM
Terbaru

Eks Jaksa Agung Sebut Persetujuan KUHP Kemunduran Demokrasi dan Penegakan HAM

Marzuki mengusulkan untuk merumuskan kembali politik hukum Indonesia yang dirasa berorientasi otoriter walau sekarang berada dalam sistem demokrasi. Arah politik hukum harus selaras dengan demokrasi konstitusional.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Foto: RES
Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Foto: RES

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disetujui DPR dan pemerintah terus mendapat sorotan dari kalangan masyarakat sipil. Jaksa Agung RI Periode 1999-2001, Marzuki Darusman melihat kalangan masyarakat sipil menilai KUHP baru sangat membatasi dan menghambat penikmatan HAM di Indonesia. Misalnya, terkait ketentuan yang mengatur kebebasan berekspresi dan berpendapat, orientasi seksual pribadi, dan kebebasan beragama.

Menurut Marzuki, Terbitnya KUHP itu kontras dengan langkah pemerintah yang telah meratifikasi 9 konvensi HAM utama internasional. Dia melihat ada anomali dalam penyusunan KUHP baru antara lain mengatur pasal-pasal yang tadinya bukan tindak pidana sekarang menjadi tindak pidana. Dalam konteks HAM berbagai pasal itu bukan merupakan tindak pidana.

Dari penelusuran Hukumonline salah satu ketentuan yang sekarang menjadi delik pidana adalah Pasal 256 KUHP yang mengatur setiap orang tanpa pemberitahuan kepada pihak berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi diancam pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II. Padahal, dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum tidak mengatur pidana terkait kewajiban pemberitahuan itu. Pasal 15 UU No.9 Tahun 1998 hanya menjatuhkan sanksi berupa pembubaran.

Dalam proses penyusunan KUHP baru itu pemerintah dinilai belum efektif memberikan pengertian/pemahaman kepada publik tentang apa yang menjadi pemikiran pemerintah dan DPR untuk menerbitkan KUHP baru. “Ini anomali dalam penyusunan KUHP yang juga dirasakan,” kata Marzuki Darusman dalam diskusi yang digelar Amnesty International Indonesia bertema “Catatan Hari HAM 2022”, Jum’at (9/12/2022).

Baca Juga:

Jaksa Agung era pemerintahan Presiden Gus Dur itu juga heran kenapa semua fraksi sepakat untuk mengesahkan KUHP yang menuai polemik itu. “Ini tantangan untuk memahami kenapa serta merta suatu peraturan perundang-undangan yang secara politik bersifat restriktif itu mudah dimufakati oleh semua fraksi di DPR. Pengesahan KUHP itu suatu kemunduran proses demokratisasi politik Indonesia dan penegakan HAM,” kritiknya.

Guna mengatasi persoalan tersebut, Marzuki mengusulkan untuk merumuskan kembali politik hukum Indonesia yang dirasa berorientasi otoriter walau sekarang berada dalam sistem demokrasi. Arah politik hukum harus selaras dengan demokrasi konstitusional.

Marzuki juga mengusulkan pemerintah untuk merumuskan kembali definisi hukum internasional yang sampai saat ini absen mengatur pembatasan atau definisi yang dibutuhkan bagi Indonesia berinteraksi di ranah internasional. Diperlukan juga dialog yang intensif antara pemerintah dan masyarakat sipil untuk membahas berbagai hal penting seperti hukuman mati.

Melansir hasil kajian Oxford University Inggris, Marzuki mengatakan 61 persen masyarakat di Indonesia setuju penghapusan hukuman mati. Karena itu, saat ini adalah momentum tepat untuk menghapus hukuman mati. Indonesia termasuk segelintir negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati. “Saya mengusulkan agar dilakukan moratorium terhadap hukuman mati,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait