Selain itu, Trissia juga menyampaikan kesenjangan antara inklusi digital dan inklusi keuangan membuat peluang ekonomi belum dapat dinikmati di seluruh wilayah Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi 76 persen aktivitas dalam e-commerce. Sementara itu, aktivitas digital dari masyarakat di daerah non-metropolitan Indonesia, yang menampung 45 persen dari populasi negara, masih tertinggal tiga hingga lima tahun dari kota-kota besar.
Sekitar 12.500 desa di Indonesia masih belum memiliki koneksi 4G, yang mengakibatkan terbatasnya akses ke berbagai fitur online dan dompet digital yang mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar. Kesenjangan digital juga lebih banyak terjadi pada perempuan, yang rata-rata memperoleh tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Kesenjangan ini dapat dilihat dari Indeks Daya Saing Digital atau IMD di 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat 53 dari 63 negara, jauh lebih buruk daripada rekan-rekannya di Asia Tenggara. Kecepatan internet yang lambat dan penetrasi broadband yang rendah adalah beberapa rintangan utama.
Penetrasi fixed broadband baru menjangkau 15% rumah tangga di Tanah Air. Sementara masih ada 13 provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi, yang hampir tidak memiliki fixed broadband.
Trissia juga menyebut biaya untuk fixed broadband seluler mahal bagi sekitar 10,2% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan karena itu tidak mampu mengakses internet. Keterjangkauan dan ketersediaan infrastruktur TIK tetap menjadi tantangan.
“Peraturan dan kebijakan industri yang tidak jelas, insentif, kekhasan lokal seperti intervensi pemerintah daerah dan kepentingan sektoral, serta vandalisme cenderung menghalangi sektor swasta untuk berinvestasi. Ada kebutuhan untuk lebih banyak klarifikasi peraturan dan intervensi pemerintah pusat dalam hal ini,” tegas Trissia.