Gaduh Seleksi Capim KPK
Berita

Gaduh Seleksi Capim KPK

Saling respons KPK, Wadah Pegawai, Koalisi dengan Pansel KPK terhadap hasil seleksi yang dinilai masih terdapat capim bermasalah.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih didampingi anggota pansel saat mengumumkan tahapan seleksi Capim KPK. Foto: RES
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih didampingi anggota pansel saat mengumumkan tahapan seleksi Capim KPK. Foto: RES

Proses Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan hal menarik. Bukan dari seleksinya, tapi akibat yang ditimbulkan dari hasil yang dilakukan panitia seleksi (pansel) terhadap para kandidat. Saling respons terjadi antara KPK, Wadah Pegawai (WP) Koalisi Masyarakat Sipil dengan Pansel. Hal ini terjadi setelah Pansel mengumumkan 20 nama kandidat yang lolos untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya yaitu sesi wawancara. 

 

Setelah diumumkan nama tersebut pada Jumat (23/7) kemarin, KPK memberi respons dengan berkata telah memberi data sebagaimana yang pernah diminta Pansel sebelumnya. "Data rekam jejak itu kami olah berdasarkan Informasi yang diterima dari masyarakat, kemudian kami cek ke lapangan, data penanganan perkara di KPK, hingga pelaporan LHKPN dan gratifikasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah. 

 

Menurut Febri, dari 20 nama yang lolos hasil tes profile assessment hari ini, terdapat sejumlah calon yang bisa dikatakan punya rekam jejak cukup baik. Namun masih ada sejumlah nama yang teridentifikasi memiliki catatan minor. Diantaranya ketidakpatuhan dalam pelaporan LHKPN, dugaan penerimaan gratifikasi, dugaan perbuatan lain yang pernah menghambat kerja KPK, dan dugaan pelanggaran etik saat bekerja di KPK.

 

Terkait dengan data pelaporan LHKPN, 18 orang pernah melaporkan LHKPN sejak menjadi Penyelenggara Negara. Sedangkan 2 orang bukan pihak yang wajib melaporkan LHKPN karena berprofesi sebagai Dosen. Sementara untuk kepatuhan pelaporan periodik 2018 yang wajib dilaporkan dalam rentang waktu 1 Januari – 31 Maret 2019, 9 orang yang merupakan pegawai dari unsur: KPK, Polri, Kejaksaan, BPK, mantan LPSK, Dekan, Kementerian Keuangan melaporkan tepat waktu. 

 

"Terlambat melaporkan sebanyak 5 orang yang merupakan pegawai dari unsur Polri, Kejaksaan, Seskab. Tidak pernah melaporkan sebanyak 2 orang yang merupakan pegawai dari unsur Polri dan Karyawan BUMN," terang Febri. Baca Juga: Presiden: UU Sulitkan Masyarakat Harus Kita ‘Bongkar’

 

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH UNAND dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Parludem) juga memberi respon terkait hal ini. 

 

Menurut Koalisi, masa depan pemberantasan korupsi terancam akibat proses seleksi pimpinan KPK menyisakan berbagai persoalan serius. Mulai dari tindakan atau pernyataan Pansel, proses seleksi, hingga calon-calon yang tersisa sampai sejauh ini. Koalisi setidaknya mencatat dua hal utama yang patut dicatat selama proses pemilihan calon pimpinan. 

 

Pertama, Pansel seakan tidak menghiraukan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Respon yang diberikan oleh Pansel acapkali negatif dan defensif, padahal penyikapan atas langkah-langkah Pansel dalam penjaringan pimpinan KPK bukan hanya oleh kalangan masyarakat sipil antikorupsi namun sudah mencakup perwakilan organisasi agama hingga mantan pimpinan KPK. 

 

"Kedua, lolosnya 20 calon yang pada tahapan ini tidak menggambarkan masa depan cerah bagi KPK ke depan. Masih ada calon diantara 20 nama tersebut yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN. Ada juga beberapa nama yang dinyatakan lolos seleksi mempunyai catatan kelam pada masa lalu. Ini mengartikan Pansel tidak mempertimbangkan isu rekam jejak dengan baik. Patut dicatat apabila calon-calon dengan rekam jejak bermasalah lolos berarti Pansel KPK memiliki andilnya sendiri dalam lemahnya agenda pemberantasan korupsi ke depan," kata Koalisi. 

 

Koalisi juga menyampaikan adanya konflik kepentingan anggota pansel, salah satunya Hendardi. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menuturkan anggota Pansel yang diduga memiliki konflik kepentingan ialah Indriyanto Seno Adji dan Hendardi, serta Ketua Pansel Yenti Garnasih.

 

"Yang pertama adalah Indriyanto Seno Adji dan Hendardi. Dan di dalam sebuah pernyataan kepada publik yang sudah tersiar, Hendardi mengakui sendiri bahwa dirinya adalah penasihat ahli kepala Kepolisian RI bersama dengan Indriyanto Seno Adji dan kedua-duanya adalah anggota pansel," ujarnya saat konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Minggu (25/8/2019).

 

Wadah Pegawai (WP) KPK pun tak mau ketinggalan memberi komentar. Yudi Purnomo Harahap selaku ketua mengatakan respon bernada protes yang dilontarkan sejumlah pihak termasuk Koalisi karena masyarakat menginginkan agar tidak ada lagi halangan bagi KPK untuk memberantas korupsi negeri ini. Sehingga diperlukan pimpinan yang punya integritas tinggi, reputasi baik, dan rekam jejak yang jelas. Artinya, ketika orang menjadi pimpinan KPK, ia akan jadi panglima dalam pemberantasan korupsi negeri ini dan tidak punya resistensi dari masyarakat.

 

"Sebab akan sangat berbahaya jika pimpinan KPK ketika terpilih nanti itu orang yang tidak didukung oleh masyarakat. dan ini tentu saja membuat pemberantasan korupsi akan mati suri, pemberantasan korupsi akan dibajak, pemberantasan korupsi akan jadi kenangan saja," tudingnya. 

 

Karena itu, WP KPK mengingatkan bahwa apapun hasil seleksi ini, tanggung jawab tetap ada di Presiden Jokowi. Alasannya kalau kembali ke UU KPK, tugas dari Pansel hanya untuk memberikan masukan pada presiden mengenai 10 nama yang akan disampaikan kepada DPR yang kemudian akan dipilih oleh DPR, khususnya Komisi 3.

 

"Karena itu, kami percaya bahwa Presiden Jokowi tentu akan mendengar aspirasi dari masyarakat, aspirasi dari tokoh-tokoh nasional, aspirasi dari negarawan bahwa 10 Capim KPK yang akan diusul oleh Presiden dan akan ditetapkan oleh Keppres untuk disampaikan ke DPR itu adalah orang-orang terbaik yang tidak punya resistensi dari masyarakat," jelasnya. 

 

Tidak hanya itu, bahkan salah satu penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari mengancam akan mundur sebagai penasihat KPK periode 2017-2021 bila ada orang yang cacat etik terpilih sebagai pimpinan KPK 2019-2023. "Bila orang-orang yang bermasalah terpilih sebagai komisioner KPK, Insya Allah saya akan mengundurkan diri sebagai penasihat KPK sebelum mereka dilantik," kata Tsani Annafari, di Jakarta, Minggu (25/8). 

 

Respons Pansel

Pansel Capim KPK tidak diam begitu saja. Salah satu anggotanya, Hendardi mengatakan pihaknya menerima hasil tracking pada tahapan profile assessment kemarin tidak saja dari KPK tapi dari 7 lembaga negara lain, BNPT, BNN, POLRI, PPATK, BIN, Dirjen Pajak dan MA. 

 

"Semua masukan tracking tersebut dan juga masukan masyarakat melalui email, surat dll kami pelajari, klarifikasi serta recheck kembali," ujarnya. 

 

Tracking dan berbagai itu menurutnya ada yang berkategori kebenaran, indikasi atau sudah/belum berkekuatan pasti dan semua itu diklarifikasi terhadap pihak yang menyampaikan tracking dari lembaga-lembaga tersebut. 

 

Jadi menurut Hendardi, jika lembaga seperti KPK menyampaikan tracking itu belum tentu semua memiiliki kategori kebenaran atau kepastian hukum. Bisa berupa indikasi yang nantinya dapat diperdalam dalam tahapan seleksi berikutnya. Jika temuan merupakan kebenaran atau berkekuatan hukum tentu tidak kami toleransi.

 

"Jika KPK dan lembaga tersebut atau unsur masyarakat menyampaikan hasil tracking atau masukan secara terbuka dan menyebutkan nama-nama mereka di ruang publik silahkan saja. Namun jika itu belum merupakan kebenaran/punya kepastian hukum tentu pihak-pihak tersebut memiliki konsekuensi hukum dengan capim yang bersangkutan," terangnya. 

 

Hendardi juga menanggapi pernyataan Koalisi soal adanya konflik kepentingan dirinya dalam menduduki posisi anggota pansel. Ia sendiri sebenarnya mengaku tidak terlalu memikirkan hal itu, dan pernyataan tersebut merupakan hak setiap orang dalam menyampaikan pendapat. 

 

"Biar saja. Itu hak menyampaikan pendapat. Tidak saya pikirin alias EGP. Dari awal Pansel dibentuk mereka sudah nyinyir begitu. Malah kelihatan punya vested interest yang tidak kesampaian makanya sering tuduh kiri-kanan," ujarnya. 

 

"Memangnya integritas saya itu dibangun hanya sejak saya jadi Penasehat Ahli Kapolri 5 tahun ini? Terlalu simplistik dan merendahkan. Integritas saya dibangun lebih dari 3 dasawarsa sejak saya jadi pimpinan mahasiswa. Mungkin sebagian dari mereka ketika itu masih menyusu atau belajar prakarya," sindirnya. 

 

Terkait posisinya sebagai Penasihat Ahli Kapolri, ia memang mengakui hal tersebut. Menurutnya, posisi itu ia emban sejak masa kepemimpinan Jenderal (Pol) Badroedin Haiti sampai sekarang. Posisi itu, menurutnya bukan merupakan organ struktural Polri, tapi hanya semacam memberi masukan untuk Kapolri dan Wakapolri. 

 

“Tidak menerima gaji, tetapi honorarium untuk pertemuan biasanya satu bulan sekali. Anggotanya sebagian besar professor dan doktor serta Purnawirawan Jenderal Polisi dari berbagai disiplin ilmu dan keahlian."

 

Masih berlanjut

Apakah ini sudah selesai? Belum. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengajak dan berharap pada Pansel agar tidak reaktif dan resisten dengan masukan publik. KPK meminta Pansel membuktikan integritas dan kinerjanya dengan bekerja semaksimal mungkin memilih calon Pimpinan KPK yang kredibel dan berintegritas. 

 

"Kritik dalam pelaksanaan tugas publik adalah hal yang wajar dan semestinya dapat kita terima dengan bijak," tuturnya. 

 

Menurut Febri, KPK juga sering dikritik oleh masyarakat, dan hal itu diletakkan sebagai masukan dan saran yang harus diterima dan didalami. Apalagi pihaknya memahami KPK adalah milik publik, milik masyarakat Indonesia. Sehingga wajar ada kritik keras terhadap 20 nama yang lolos tahap profile assesment kemarin. ,

 

"Bagi KPK, calon dari institusi manapun tidak menjadi persoalan, tetapi rekam jejak integritas menjadi hal yang paling utama. Jika ada catatan perbuatan tercela atau melanggar hukum atau etik, tentu wajar kita semua bertanya, apa pantas Pansel memilih calon tersebut?" 

Tags:

Berita Terkait