Sementara Komisioner KY Bidang Hubungan Antar Lembaga, Imam Anshori Saleh mengatakan hasil eksaminasi secara tidak langsung bisa dijadikan bahan pertimbangan menjatuhkan sanksi etik terhadap majelisnya. Dengan catatan, sanksi dijatuhkan apabila dalam eksaminasi putusan ditemukan bukti kuat adanya pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang menyimpang.
Tak hanya itu, adanya pelanggaran hukum acara atau prosedur yang dilakukan majelis bisa menjadi pertimbangan KY menjatuhkan sanksi etik. “Kalau langsung tidak bisa, kecuali jika ada yang janggal misalnya ada pertemuan hakim dengan para pihak, itu baru bisa menjadi pertimbangan menjatuhkan sanksi,” kata Imam.
Namun, KY menegaskan tidak melakukan eksaminasi putusan PK TPI itu. Pihaknya, hanya melakukan proses kajian dengan melakukan anotasi (catatan) terhadap putusan itu. “Kalau eksaminasi itu meminta pandangan tim ahli,” katanya.
Sebelumnya, MA menyatakan akan meminta klarifikasi majelis hakim PK atas dugaan pelanggaran kode etik terkait penyelesaian sengketa kepemilikan saham PT CPTI Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CPTI). “Ya nanti kita akan klarifikasi majelis hakimnya, kita akan membentuk tim,” ujar Ketua MA Hatta Ali di Gedung MA beberapa waktu lalu.
Hatta pun mempersilakan jika ada pihak luar mengeksaminasi putusan PK TPI terutama bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan itu. “Silakan dieksaminasi, malah bagus bisa melihat kelemahannya dimana? katanya.
Awalnya, anak sulung mantan Presiden Soeharto (alm), Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut menggugat kepemilikan 75 persen saham TPI karena menilai pengambilalihan saham yang dilakukan PT Berkah Karya Bersama tidak sah. Alhasil, gugatan Tutut terhadap PT Berkah Karya Bersama atau MNC TV milik Hary Tanoesoedibjo dimenangkan PN Jakarta Pusat. Lalu, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan PN Jakarta Pusat.
Tak puas, Tutut bersama rekannya mengajukan permohonan kasasi ke MA dan dikabulkan dengan membatalkan putusan PT DKI Jakarta No. 629/Pdt/2011 yang membatalkan putusan PN No. 10/Pdt.g/2010/PN Jakpus. Artinya, putusan kasasi yang diketok pada2 Oktober 2013 itu menguatkan kepemilikan saham PT TPI kepada Tutut.
Lalu, permohonan PK yang diajukan PT Berkah Karya Bersama pun ditolak majelis PK yang diketuai Mohammad Saleh. Sehingga putusan PK itu menguatkan kembali kepemilikan saham PT CTPI kepada Mbak Tutut.PK yang diputus 29 Oktober 2014 ini dinilai sebagian pihak telah menyalahi hukum acara karena perkara sengketa TPI hingga kini masih berlangsung di BANI.
“Lembaga manapun tidak bisa membatalkan putusan, yang bisa adalah satu upaya hukum lanjutan, kalau kasasi itu kan ada PK, lalu bisa ada PK lagi yang mengubah itu. Tetapi, eksaminasi hanya berguna bagi masyarakat untuk mengetahui kelemahan sebuah putusan,” kata Gayus di Kantor Komisi Yudisial, Kamis (21/11) kemarin.
Lebih lanjut, Gayus mengatakan jika memang ada kesalahan teknis dalam putusan PK itu, hasil eksaminasi tidak serta merta dijadikan dasar menjatuhkan sanksi kode etik terhadap majelisnya. Sebab, etika dan hukum merupakan domain yang berbeda. “Tidak bisa itu, etik dan hukum berbeda, etik tidak boleh mencampuri hukum,” kata dia.
Dalam kasus TPI ini, sepengetahuan Gayus sebenarnya gugatan sengketa kepemilikan saham TPI ini telah lebih dulu diajukan ke pengadilan umum sebelum gugatan sampai ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Ini yang selama ini tidak diketahui publik,” kata mantan Anggota Komisi III DPR ini.
Menurutnya, sebuah putusan pengadilan seyogyanya tidak dikomentari karena akan mengganggu independensi hakim yang memutus. “Apalagi putusan dikomentari orang yang pernah menjadi hakim. Seharusnya KY juga berperan untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim ini,” katanya.