Gertak Sambal di Awal, Panca Overseas Akhirnya PKPU Juga
Berita

Gertak Sambal di Awal, Panca Overseas Akhirnya PKPU Juga

Jakarta, hukumonline Sempat melawan dengan mengajukan eksepsi, PT Panca Overseas Finance (POF) akhirnya menyerah juga. Dalam lanjutan sidang kepailitan hari ini, Jumat (29/9), mereka mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Leo/Rfl
Bacaan 2 Menit
Gertak Sambal di Awal, Panca Overseas Akhirnya PKPU Juga
Hukumonline

Gertak di awal, mundur belakangan. Itulah yang terjadi dengan  PT Panca Overseas Finance Tbk (POF) dalam lanjutan sidang perkara kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.  POF akhirnya mengajukan PKPU terhadap gugatan pailit International Finance Corporation (IFC). Padahal, sebelumnya, perusahaan itu  sempat 'memanaskan' suasana dengan mengajukan eksepsi, yang pada pokoknya mempermasalahkan klausul pilihan hukum (choice of law).

Dengan diajukannya permohonan PKPU itu,  otomatis semua eksepsi dan jawaban yang pernah dikemukakan POF dinyatakan gugur. Dalam permohonan PKPU, yang dibacakan kuasa hukum POF, Lucas SH, disampaikan bahwa perusahaan itu masih memiliki kemampuan materiil untuk membayar utang-utangnya. Hanya, yang perlu dibahas dan disepakati POF dengan kreditur-krediturnya adalah jangka waktu dan cara pembayaran (term and condition).

Sebelum dibacakan permohonan PKPU, sidang dibuka dengan pembacaan tanggapan IFC atas eksepsi POF. Luhut Pangaribuan, sebagai kuasa hukum IFC, menolak eksepsi yang diajukan POF pada sidang 26 September lalu. Ia bahkan menyatakan eksepsi itu sendiri tak dikenal dalam UU Kepailitan (UUK).

Selain itu, IFC melihat indikasi POF beritikad buruk untuk tidak membayar utang-utangnya. Terbukti dari upaya POF untuk menunda-nunda sidang dan mengulur-ngulur waktu. POF, misalnya,  tak hadir pada sidang pertama (18 September). Setelah sidang diundur seminggu, kuasa hukum POF kembali berusaha mengulur-ulur waktu dengan hanya mengajukan eksepsi. Eksepsi tersebut pada intinya menyatakan Pengadilan Niaga tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini karena ada klausul pilihan hukum (choice of law) dalam perjanjian antara IFC dan POF.

Menanggapi hal tersebut, Luhut mengemukakan, dalam perjanjian investasi antara IFC dan POF pada bagian 8.08 (b), (c), dan (d) secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa tidak ada hal dalam perjanjian yang mempengaruhi hak IFC untuk memulai proses hukum. Atau, dengan cara lain, menuntut perseroan (POF) di Indonesia. Luhut merujuk ketentuan Pasal 1342 KUHPerdata yang menyatakan, jika kata-kata suatu perjanjian telah jelas, tak diperkenankan untuk menyimpang dengan jalan penafsiran.

Hanya diratifikasi Israel

Hal-hal penting lain yang disampaikan Luhut adalah berkaitan dengan ketentuan dalam Convention on the Choice of Court. Pada persidangan sebelumnya, Lucas menyatakan, berdasarkan konvensi tersebut, khusus untuk perkara kepailitan tak ada pilihan hukum. Karena perjanjian IFC-POF dibuat berdasarkan hukum New York, menurut penafsiran Lucas, maka pengadilan New York-lah yang berwenang memeriksa perkara kepailitan itu. Luhut membantah penafsiran itu. Dijelaskannya, konvensi tersebut belum berlaku di Indonesia karena belum diratifikasi. Dan, sejauh ini hanya Israel yang sudah meratifikasinya.

Pada bagian akhir tanggapannya, Luhut menilai eksepsi POF sama sekali tidak benar kendati terlihat logis. Karena itu ia meminta majelis hakim yang dipimpin Syamsudin Manan Sinaga, SH  menolak eksepsi itu. Apalagi, IFC melihat POF tak memiliki itikad baik untuk membayar utangnya. Atau, membayar pada waktu yang lebih lama sesuai kehendaknya.

Ditemui seusai persidangan, Lucas, selaku kuasa hukum POF, menyatakan keheranannya  dengan permohonan pailit yang diajukan IFC. Ia menganggap permohonan itu terlalu terburu-buru. Sebab,  kemampuan POF untuk membayar utang kepada kreditur-krediturnya tak perlu diragukan lagi. Yang jadi masalah, menurutnya, hanyalah soal waktu. "Setelah berkonsultasi dengan klien saya, akhirnya kita sepakat bahwa jalan terbaik adalah dengan mengajukan PKPU," tutur Lucas.

Ajang kolusi baru

Di mata Luhut, pengajuan PKPU itu kian menunjukkan POF tidak beritikad baik. Ia kembali mengingatkan soal ketidakhairan POF dalam sidang pertama. Karena itu, Luhut berjanji akan mengamati dan mengawasi dengan cermat proses PKPU POF nanti.

Ketika ditanya bahwa PKPU kerap menjadi ajang debitur menghindar dari kewajibannya, Luhut tidak menampik."Sekarang, ibaratnya PKPU menjadi ajang baru kolusi setelah sebelumnya 'bermain' di proses kepailitan," Luhut berkomentar. Menurut Luhut, dalam proses kepailitan, mereka yang berkolusi mulai sadar kalau diawasi. Karena itu mereka memindahkan medan pertempuran ke proses PKPU.

Salah satu sebab PKPU menjadi ajang kolusi, menurut Luhut, adalah menyangkut peranan pengurus dan hakim pengawas dalam proses PKPU. Selama ini, fungsi mereka seolah hanya bersifat administratif, dengan mengecek formalitas-formalitas belaka. Padahal, kalau mereka menjalankan fungsinya dengan benar, keberadaan kreditur-kreditur fiktif atau kreditur 'ajaib', yang tiba-tiba memliki tagihan besar kepada debiturdan menyetujui rencana perdamaian yang tidak masuk akal, akan bisa dihindari. Sidang akan dilanjutkan pada Senin (9/10) dengan acara pembacaan putusan PKPU.

 

Tags: