‘Gratifikasi adalah Budaya Bangsa yang Dikriminalisasi’
Seleksi Capim KPK:

‘Gratifikasi adalah Budaya Bangsa yang Dikriminalisasi’

Mantan pejabat Polri ini juga tercatat sebagai konsultan hukum di sejumlah perusahaan.

Ali
Bacaan 2 Menit
Aryanto Sutadi Salah seorang calon pimpinan KPK saat fit and proper test diKomisi III DPR. Foto: SGP
Aryanto Sutadi Salah seorang calon pimpinan KPK saat fit and proper test diKomisi III DPR. Foto: SGP

Dahulu, memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih bukan hal yang asing. Setiap hari raya tiba, rumah pejabat biasanya dipenuhi parsel-parsel yang dikirim oleh koleganya. Salah seorang calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Aryanto Sutadi mengaku pernah menerima jenis parsel ini ketika masih menjabat di Kepolisian.

 

“Dahulu saya pernah menerima. Saya tak munafik,” ujarnya dalam fit and proper test di ruang rapat Komisi III DPR, Senin (28/11).

 

Aryanto menilai pemberian hadiah pada masa lalu, termasuk kepada pejabat negara, –atau sekarang yang lebih dikenal dengan gratifikasi- merupakan budaya bangsa Indonesia. Kala itu, tak ada undang-undang khusus layaknya UU Tindak Pidana Korupsi yang melarang gratifikasi. Karenanya, ia menilai tindakan ini sebagai hal yang wajar.

 

Lebih lanjut, Aryanto memang mengakui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya melarang pejabat negara menerima sesuatu hadiah. “Tetapi larangan ini tak ditegakkan, karena itu sudah menjadi budaya. Lagipula, ini kan hanya pemberian hadiah biasa,” jelasnya.

 

Aryanto menjelaskan secara hukum ada dua jenis gratifikasi. Pertama, gratifikasi atau pemberian hadiah biasa yang diberikan kepada pejabat negara tanpa imbalan apa pun. Kedua, gratifikasi yang dapat dikategorikan sebagai suap karena si pemberi hadiah berharap adanya imbalan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.

 

Namun, lanjut Aryanto, dua jenis gratifikasi itu sudah secara tegas dilarang oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). “Gratifikasi yang berupa pemberian hadiah biasa diatur oleh Pasal 11 UU Tipikor, sedangkan Pasal 12B mengatur gratifikasi yang berujung ke penyuapan,” jelasnya.

 

Karenanya, dengan penjelasan ini, Aryanto berusaha meluruskan bila dirinya dianggap pro dengan tindak pidana gratifikasi. Sejumlah aktivis LSM memang kerap mengkritik sikapnya ini yang dianggap setuju dengan gratifikasi ketika menjalani proses wawancara di Panitia Seleksi Pimpinan KPK beberapa waktu lalu.

Tags: