Guru Besar FH UGM: UU Cipta Kerja Miliki Daya Laku, Tapi Tak Punya Daya Ikat
Terbaru

Guru Besar FH UGM: UU Cipta Kerja Miliki Daya Laku, Tapi Tak Punya Daya Ikat

Tidak punya daya ikat selama belum diperbaiki. Sebab, putusan MK memerintahkan menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Guru Besar FH UGM Prof Maria Sumardjono. Foto: ADY
Guru Besar FH UGM Prof Maria Sumardjono. Foto: ADY

Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih menuai polemik karena menimbulkan beragam tafsir di masyarakat. Presiden Joko Widodo menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tetap berlaku dan memerintahkan jajarannya untuk segera melakukan perbaikan sesuai putusan MK. Sebaliknya sebagian kalangan termasuk akademisi menilai UU No.11 Tahun 2020 tidak memiliki daya ikat sejak MK membacakan putusan tersebut.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono mengatakan setelah putusan MK itu, uji formil UU No.11 Tahun 2020 masih memiliki daya laku, tapi tidak punya daya ikat selama belum diperbaiki. Sebab, putusan MK itu telah memerintahkan menangguhkan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru.

Dia mengingatkan sesuai Pasal 4 UU No.11 Tahun 2020, klaster yang diatur dalam beleid tersebut masuk kategori kebijakan yang strategis dan berdampak luas, termasuk bidang pertanahan. Meskipun ditangguhkan, tapi menurutnya tidak ada kekosongan hukum dalam bidang pertanahan karena yang berlaku adalah regulasi pertanahan sebelum terbit UU No.11 Tahun 2020. Salah satunya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

“UU No.5 Tahun 1960 tetap menjadi dasar semua kebijakan pertanahan,” kata Prof Maria dalam webinar bertema “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi UU Cipta Kerja”, Kamis (16/12) lalu. (Baca Juga: Guru Besar FH UGM: Ada 3 Pandangan Sikapi Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja)

Apalagi, Prof Maria menekankan UU No.5 Tahun 1960 bukan UU yang terdampak dalam UU No.11 Tahun 2020. Karena itu, UU No.11 Tahun 2020 tidak mengubah, menyisipkan, atau menambahkan ketentuan dalam UU No.5 Tahun 1960. “Sehingga UU No.5 Tahun 1960 bisa lolos dari putusan MK terkait pengujian UU No.11 Tahun 2020.”

Benahi aturan pertanahan

Mengingat putusan MK memandatkan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 baik secara formil dan substansi, Prof Maria merekomendasikan substansi pertanahan dalam beleid tersebut juga ikut dibenahi termasuk peraturan turunannya. Dia menyebut ada beberapa isu krusial pengaturan pertanahan dalam UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya yang perlu diperbaiki.

Dia menilai ada cacat logika hukum karena pengaturan pertanahan dalam UU No.11 Tahun 2020 dilakukan dengan cara “asal mengubah” konsepsi dan prinsip atau asas dalam UU No.5 Tahun 1960. Misalnya, UU No.11 Tahun 2020 mengatur tentang pembukaan lapangan kerja seiring dengan masuknya investasi (lex generalis). Selain itu, pengaturan pertanahan dalam UU No.11 Tahun 2020 wajib mematuhi UU No.5 Tahun 1960 sebagai lex specialis.

“Apapun perubahan yang diinginkan wajib hukumnya selaras dengan UU No.5 Tahun 1960,” tegasnya.

Menurut Prof Maria, ada pihak yang menganggap UU No.5 Tahun 1960 ketinggalan zaman, sehingga harus direvisi. Baginya, pihak yang berpandangan seperti itu lupa bahwa UU No.5 Tahun 1960 sifatnya dinamis. Misalnya pengaturan tentang rumah susun; HPL/hak atas tanah di ruang bawah tanah, bawah air, dan atas tanah; pemberian hak atas tanah di wilayah perairan; pemberian HGB/Hak Pakai di atas Hak Milik.

“Berbagai ketentuan itu sebelumnya tidak ada dalam UU No.5 Tahun 1960, tapi karena beleid itu sifatnya dinamis, maka bisa dikembangkan tanpa melanggar prinsip,” jelasnya.  

Berbeda dengan UU No.11 Tahun 2020 dimana perubahan yang dilakukan tujuannya bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi hanya kelompok yang memiliki posisi tawar kuat secara ekonomi, sosial, dan politik. “Peraturan yang bermasalah itu justru semakin menjauh dari cita-cita tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” kritiknya.

Sejumlah hal yang perlu dikoreksi dari UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya terhadap pelanggaran konsepsi atas UU No.5 Tahun 1960 antara lain pemberian HGU di atas HPL; pemberian HMRS kepada warga negara asing yang status tanah bersamanya HGB; penetapan HPL untuk masyarakat hukum adat. Kemudian pemberian hak dan perpanjangan atau perpanjangan dan pembaruan hak tanpa dibatasi ketentuan bahwa pendaftaran haknya dilakukan secara bertahap.

Prof Maria juga mengusulkan agar mempertimbangkan kembali gagasan tentang Bank Tanah yang bermasalah sejak awal. Lebih baik fokus pada tujuan untuk mencapai ekonomi yang berkeadilan sosial. Pemberlakuan PP No.64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah harus ditangguhkan dulu dan tidak menerbitkan Perpres baru terkait Badan Bank Tanah sesuai amar putusan MK.

Dia menyarankan saat ini adalah waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang kedudukan dan fungsi HPL dengan segala implikasi hukumnya sesuai UU No.5 Tahun 1960. Perlu menelusuri kemungkinan untuk menjadikan hak atas tanah hanya dalam 2 kelompok yakni hak milik dan hak pakai sebagaimana pernah diusulkan dalam RUU tentang Sumberdaya Agraria Tahun 2004. Serta melaksanakan TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Tags:

Berita Terkait