Hadapi Pailit dan PKPU, Pelaku Usaha Layak Coba Tips Berikut Ini
Utama

Hadapi Pailit dan PKPU, Pelaku Usaha Layak Coba Tips Berikut Ini

Debitur harus bersikap terbuka kepada pengurus, misalnya tidak mempersulit pengurus saat meminta dokumen. Kejadian semacam ini kerap ditemukan dalam sengketa PKPU dan akan merugikan debitur karena dapat memperlambat proses PKPU yang waktunya dibatasi selama 45 hari.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Hadapi Pailit dan PKPU, Pelaku Usaha Layak Coba Tips Berikut Ini
Hukumonline

Kesulitan finansial merupakan salah satu risiko yang sangat mungkin dialami oleh pelaku usaha. Penyebabnya pun beragam, masalah bisa muncul dari internal ataupun eksternal seperti krisis ekonomi. Akibatnya pelaku usaha kesulitan menunaikan kewajibannya, salah satunya terkait utang piutang.

Kondisi ini bisa berujung pada potensi terjadinya pailit atau permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari kreditur. Untuk menghadapi situasi ini, pengusaha sekaligus advokat Budi Salim menyampaikan beberapa tips hukum yang bisa dilakukan pelaku usaha untuk menyelamatkan perusahaan, baik sebelum diajukannya dari pailit/PKPU atau setelah diajukan PKPU dan pailit.

Pertama, saat PKPU dan pailit belum dimohonkan oleh kreditur, pelaku usaha harusmenyiapkan langkah antisipasi saat perusahaan mengalami kesulitan finansial. Hal ini bertujuan agar perusahaan tak mudah dimohonkan pailit atau PKPU. Caranya adalah dengan menyiapkan fakta bahwa persoalan utang piutang yang terjadi antara kedua belah pihak tidaklah sederhana, semisal terdampak krisis ekonomi atau pandemi.

Baca Juga:

Dalam langkah antisipasi ini, pelaku usaha wajib berkomunikasi kepada kreditur terkait kondisi yang tengah dialami oleh perusahaan sebelum utang jatuh tempo. Komunikasi yang dilakukan haruslah bersifat formal agar bisa dijadikan bukti apabila terjadi masalah hukum di kemudian hari.

“Seharusnya sebelum jatuh tempo kita komunikasi lewat whatsapp, tetapi itu bukan alat bukti yang cukup apabila terjadi masalah hukum. Sebaiknya buat surat tertulis resmi kepada kawan bisnis kita, kita pelajari apa yang menyebabkan perusahaan kesulitan, misalnya krisis dan pandemi. Pada surat apapun yang membuat tidak bisa bayar, paparkan. Ini adalah bukti yang bisa kita beritahukan kepada hakim bahwa keadaan kita tidak sederhana dan jangan lupa saat membuat surat itu harus kirimkan secara fisik dan tanda terima. Setidaknya kita punya bukti sudah mengupayakan kepada kawan bisnis bahwa terjadi keadaan tidak sederhana,” kata Budi dalam sebuah diskusi, Rabu (30/11).

Kemudian pelaku usaha harus mendokumentasikan seluruh negosiasi sampai addendum ditambahkan ke dalam kontrak. Tanpa addendum, negosiasi bisa gugur dan kembali ke kontrak awal. Dalam konteks ini, lanjut Budi, pelaku usaha sering melakukan negosiasi secara informal. Hal ini sah-sah saja, namun yang perlu menjadi catatan adalah hasil negosiasi yang dilakukan secara informal harus langsung di follow-up dan dimasukkan ke dalam perjanjian.

Kelalaian melakukan tindak lanjut atas kesepakatan tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi debitur. Misalnya debitur harus melakukan negosiasi ulang jika secara tiba-tiba perusahaan membubarkan manajemen office yang lama dan mengganti dengan yang baru, dan kontrak kembali pada perjanjian awal.

Tak hanya itu, pelaku usaha juga harus menyelesaikan sengketa yang terjadi dengan pekerja. Sengketa ketenagakerjaan yang telah berkekuatan hukum tetap namun belum dilaksanakan oleh pelaku usaha dapat menjadi jalan masuk bagi kreditur lain untuk membuktikan unsur sederhana. Sehingga dapat dimohonkan pailit atau PKPU.

Guna mengantisipasi persoalan tersebut, Budi berpendapat pelaku usaha tak boleh mengabaikan divisi legal saat kondisi bisnis perusahaan melambat.

“Karena kalau perusahaan dalam situasi berat mereka akan mengurangi cost salah satunya dengan merampingkan divisi legal karena menilai legal hanya dilakukan sekali lima tahun untuk mengecek legalitas. Tapi ini bisa jadi kelalaian, membiasakan karyawan bekerja keras tanpa adanya divisi legal menjadi penyebab lalainya membuat addendum. Akhirnya yang dipakai kontrak awal,” jelas Budi.

Kedua, jika permohonan pailit atau PKPU sudah dimohonkan oleh kreditur ke Pengadilan Niaga namun perusahaan tidak menyiapkan langkah antisipasi, permohonan tersebut masih bisa ditangkis, salah satu caranya dengan mengajukan permohonan PKPU secara volunteer. Budi menegaskan bahwa UU Kepailitan memungkinkan PN untuk memproses PKPU yang diajukan oleh debitur. Di sisi lain, PKPU sukarela ini lebih menguntungkan bagi pihak debitur.

Dan tak kalah pentingnya adalah memilih lawyer yang memiliki keahlian hukum kepailitan agar proposal perdamaian dapat diterima oleh kreditur, serta memilih pengurus yang memiliki rekam jejak bagus dalam mencapai perdamaian di PKPU.

“Jika yang memohonkan PKPU adalah kreditur, dia tak peduli mau pakai pengurus siapa karena dia memikirkan bagaimana utangnya dibayar. Pengurus siapapun harus independen dan tidak boleh memiliki benturan kepentingan, jika disalahgunakan maka bisa dimohonkan untuk diganti,” jelasnya.

Dan tak kalah penting adalah debitur harus bersikap terbuka kepada pengurus, misalnya tidak mempersulit pengurus saat meminta dokumen. Kejadian semacam ini kerap ditemukan dalam sengketa PKPU dan akan merugikan debitur karena dapat memperlambat proses PKPU yang waktunya dibatasi selama 45 hari.

“Pada dasarnya hukum kepailitan dan PKPU ini akan dirasakan manfaatnya untuk pengusaha yang beriktikad baik. Karena berfungsi meminimalisir kerugian kreditur saat piutang tidak dibayar dan agar debitur bisa mendapatkan kesempatan untuk restrukturisasi utang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait