Hakim Agung Keluhkan Gaji Rendah
Berita

Hakim Agung Keluhkan Gaji Rendah

Padahal tugasnya sangat berat.

ALI
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Keluhkan Gaji Rendah
Hukumonline

Hakim Agung Supandi mengeluhkan gaji hakim agung yang rendah, padahal tugasnya cukup berat dan bahkan kadang-kadang harus berhadapan dengan ‘pengadilan pers’.

Hal ini diutarakan Supandi dalam acara peluncuran buku dan diskusi ‘Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia’ serta peringatan ulang tahun kesembilan Komisi Yudisial di Jakarta, Rabu (28/8).

Ia berharap KY sebagai penegak kode etik hakim bisa memperjuangkan keluhan ini. “Sekarang terjadi inkonstitusionalitas di peradilan. Hakim agung gajinya lebih rendah dari hakim di bawahnya (Pengadilan Tinggi,-red). Ini bagus bila diperjuangkan oleh KY,” ujarnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, Ketua KY Suparman Marzuki memang pernah mengutarakan ‘jomplang’-nya gaji hakim agung dengan gaji hakim tinggi ini. Ia mengatakan Ketua Pengadilan Tinggi bisa memperoleh gaji sekitar Rp 45 hingga 46 juta per bulannya. Sedangkan, hakim agung hanya mendapat gaji Rp 30 juta perbulan. Ini berakibat turunnya minat Ketua PT menjadi hakim agung.

Kenaikan gaji hakim di bawah lingkungan MA ini merupakan ‘buah’ dari desakan para hakim muda yang meminta agar kesejahteraan mereka diperhatikan. Pemerintah akhirnya mengabulkan desakan itu dengan menerbitkan PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Supandi menjelaskan padahal tugas dan pekerjaan hakim agung sangat berat. Ia mengibaratkan MA itu sebagai ‘keranjang sampah’. Apabila ada kualitas penyidikan yang tak profesional, lalu hakim agung memperbaikinya melalui putusannya, pers pun segera ‘mengadili’ melalui pemberitaan.

“Bahkan (Pengadilan pers) ini hingga ke istri dan anak kami,” keluhnya.

Karenanya, Supandi kadang tak mau menyebutkan pekerjaannya sebagai hakim ketika berinteraksi sosial di masyarakat. Ia lebih senang menyebut dirinya sebagai dosen, profesi yang juga digelutinya. “Kalau ditanya tugas dimana? Saya bilang saya ini dosen. Itu karena tekanan (untuk hakim agung,-red) yang sangat besar,” ujarnya.

Supandi juga menyayangkan sikap KY yang sering mengumumkan ke media massa nama hakim yang dipanggil atau diperiksa. “Hakim baru dipanggil, lalu diumumkan di media. Padahal belum tentu salah, tapi nama hakim itu sudah rusak,” tambahnya.

Ia berharap agar MA dan KY bisa saling bersinergi untuk mewujudkan lembaga peradilan yang bermartabat. “KY dan MA itu seharusnya seperti suami istri, saling memperkuat,” tuturnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan mengakui bahwa ‘peradilan media’ terhadap hakim yang memutus perkara memang sudah semakin parah. Ia bahkan berseloroh bahwa saat ini di Indonesia, lingkungan peradilan tak lagi berjumlah empat, melainkan bertambah menjadi lima lingkungan peradilan.

“Sekarang ini ada lima lingkungan peradilan. Yakni, peradilan militer, peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan yang terakhir peradilan TvOne dan Metro Tv,” sindirnya.

Tags:

Berita Terkait