Harmonisasi UU, Kunci Atasi Kekhawatiran Direksi BUMN
Utama

Harmonisasi UU, Kunci Atasi Kekhawatiran Direksi BUMN

Keputusan direksi harus sesuai business judgement rule. Jika merugi, diharapkan tak dianggap sebagai kerugian negara.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Harmonisasi perundang-undangan menjadi kunci atas keraguan direksi perusahaan BUMN untuk mengambil keputusan yang bisa merugikan perusahaan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Nindyo Pramono, mengatakan harmonisasi lebih kepada kekayaan yang terdapat pada badan hukum.

Menurutnya, masih terdapat tumpang tindih aturan apakah aset perusahaan BUMN masuk kategori kekayaan negara atau bukan. Dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan penjelasannya disebutkan bahwa modal BUMN yang berasal dari kekayaan negara dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya tak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun lebih didasarkan pada prinsi perusahaan yang sehat.

Sebaliknya, versi UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menilai bahwa keuangan negara meliputi kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa utang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah. UU Keuangan Negara ini pula yang menjadi dasar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam menjalankan tugasnya.

“Kalau (perusahaan BUMN, red) sudah go public ke pasar modal, lalu dibeli asing, masuk ke ranah kerugian negara. Jadi tidak harmonis dalam kacamata hukum bisnis,” kata Nindyo dalam diskusi bertajuk ‘Aturan Korporasi di Simpang Jalan Menemukan Peta Jalan Bagi Direksi BUMN’ di Jakarta, Kamis (26/6).

Ia tak menampik, dalam doktrin hukum terdapat asas bagi pemutus peradilan untuk mencari jalan keluar dari ketidakharmonisan peraturan ini. Misalnya, melalui asas lex specialis derogat legi generalis, lex superior derogat legi inferior hingga lex posterior derogat legi priori. Asas-asas ini bisa menjadi doktrin apabila ada hakim yang berani memutuskan dalam pengadilan.

Atas dasar itu, lanjut Nondyo, dibutuhkan kearhifan dari seluruh stakeholder termasuk pemerintah dan DPR dalam mengharmonisasikan perundang-undangan. “Perlu ada kearifan kita bersama untuk diharmoniskan. Terdapat ketidakharmonisan dalam UU publik di satu pihak dan UU privat di sisi lain,” katanya.

Direktur Utama Perum Peruri, Prasetio, menambahkan dalam menjalankan roda perusahaan, direksi melaksanakan aksi korporasi yang berpotensi memicu kerugian yang disebut sebagai risiko bisnis. Namun, dalam perjalannya risiko bisnis tersebut berpotensi menimbulkan kerugian BUMN dan diidentikkan sebagai kerugian negara. Hal ini yang dikhawatirkan direksi karena bisa ditarik ke ranah tindak pidana korupsi.

Ia menyinggung terdapat doktrin Business Judgement Rule (BJR) yang melindungi direksi dari pertanggungjawaban atas setiap tindakan yang diambil sehingga memicu kerugian perseroan. Perlindungan tersebut diberikan sepanjang tindakan yang diambil direksi dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian serta untuk kepentingan sesuai maksud dan tujuan perseroan. Hal ini terdapat dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 114 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

“Jangan disalahartikan business judgement rule untuk lindungi koruptor, karena tidak ada penyalahgunaan kewenangan di dalamnya,” kata Prasetio.

Mantan Dirut Bank Mandiri Robby Djohan mengatakan, ketidakpastian hukum ini menjadi dilema bagi direksi perusahaan BUMN dalam mengambil keputusan bisnis. Akibatnya, perusahaan BUMN berjalan di tempat. Hal serupa juga diutarakan oleh mantan menteri BUMN Tanri Abeng. Tanri yang duduk di kursi peserta tersebut merinci bahwa keuntungan bersih satu tahun perusahaan BUMN yang berjumlah 141 tersebut masih di bawah satu perusahaan dari Malaysia, Petronas.

Keuntungan bersih Petronas tahun lalu mencapai Rp250 triliun. Sedangkan 141 perusahaan BUMN Indonesia menyumbang keuntungan bersih Rp150 triliun tahun lalu. Ia menuturkan, pada tahun pertama dan kedua Petronas merugi, namun tetap mengembangkan bisnisnya hingga ke 42 negara. Setelah bertahun-tahun berinvestasi, akhirnya Petronas membukukan laba bersih yang besar.

“Kerugian justru karena kita tidak manfaatkan potensi. Rugi satu tahun apa artinya, tapi keuntungan 20 tahun ke depan, jauh lebih besar,” katanya.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyatakan kesiapannya untuk memfasilitasi pembahasan lanjutan dengan tujuan ketidakharmonisan atau tumpang tindih UU ini bisa diminimalisir. Ia sadar, penyusunan UU terkait masalah ini tak dapat dilakukan secara parsial dengan mengubah satu atau dua UU saja.

“Akan tetapi juga harus menyertakan UU lain yang relevan,” katanya saat menyampaikan keynote speech.
Tags:

Berita Terkait