Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya
Terbaru

Suami Beli Properti Diam-diam untuk Selingkuhan, Ini Konsekuensi Hukumnya

Jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Jika perkawinan dilakukan tanpa perjanjian perkawinan, suami yang melakukan pembelian properti untuk selingkuhannya, maka suami telah melakukan 2 perbuatan hukum, yakni transaksi jual-beli properti berupa 1 unit property berdasarkan perjanjian jual-beli dan hibah properti kepada perempuan yang menjadi selingkuhannya berdasarkan perjanjian hibah, yang mana properti tersebut dibeli menggunakan harta bersama.

Dikarenakan jual-beli properti dan hibah properti menggunakan harta bersama, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum terhadap harta bersama. Oleh karenanya, kedua perbuatan tersebut harus dilakukan atas persetujuan atau izin istri.

Lalu, apa konsekuensinya jika perbuatan hukum tersebut dilakukan tanpa izin/persetujuan istri?

Mengenai konsekuensi hukum dalam hal suami/istri melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan pasangannya dapat dijumpai dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 tertanggal 18 September 1998 yang mengandung kaidah hukum (Hulman Panjaitan, Kumpulan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 1953-2008, Berdasarkan Penggolongannya) yakni: “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.”

Lebih lanjut, dalam yurisprudensi Mahkamah Agung lainnya diterangkan bahwa jual-beli tanah, yang merupakan bentuk perbuatan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum, sebagaimana tertuang dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 701 K/PDT/1997 tertanggal 24 Maret 1999 yang mengandung kaidah hukum: “Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum.”

Jika merujuk pada kedua yurisprudensi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama, termasuk berupa pembelian dan hibah properti dengan menggunakan harta bersama, yang dilakukan oleh suami tanpa persetujuan istri tidak sah dan batal demi hukum.

Selain itu, jika merujuk pada syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), ditegaskan bahwa suatu perjanjian sah diantaranya jika memenuhi syarat “sebab yang halal”, yang berarti isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Perbuatan hukum yang dilakukan terhadap harta bersama tanpa persetujuan suami/istri melanggar ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga perjanjian jual-beli dan perjanjian hibah tersebut tidak memenuhi syarat “sebab yang halal”. Konsekuensi perjanjian yang dibuat karena sebab yang terlarang ditegaskan dalam Pasal 1335 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Tags:

Berita Terkait