Hukum yang Hidup dan Berkembang dalam Masyarakat
Kolom

Hukum yang Hidup dan Berkembang dalam Masyarakat

Keberadaan masyarakat adat ini kemudian bisa dianggap sebagai subjek hukum yang artinya masyarakat adat harus mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur.

Hukum yang Hidup dan Berkembang dalam Masyarakat
Hukumonline

Hakim, sebagai penegak hukum, di Indonesia, menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diwajibkan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ketika memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan pada mereka. Ada dan keberlakuan nilai-nilai hukum (tidak tertulis) dan rasa keadilan juga ditegaskan ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan suatu perjanjian (yang dibuat secara sah) tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Mungkin pula dalam semangat memberi pengakuan formal dan substantif pada hukum tidak tertulis atau yang dipersamakan dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Pasal 2 ayat [1] & [2]) mencantumkan sebagai sumber hukum pidana, tidak hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan; lex scripta) tetapi juga hukum tidak tertulis alias hukum yang hidup di masyarakat (usus; custom) dengan disclaimer: sepanjang dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Pertanyaan pokok di sini adalah bagaimana gagasan hukum tidak tertulis (nilai hukum dan rasa keadilan atau hukum yang hidup di masyarakat) dapat dipahami dan lebih penting dari itu diidentifikasi, dirumuskan dan ditemukan dalam konteks bernegara dan berhukum di Indonesia? Terkait dengan itu adalah seberapa jauh hukum kebiasaan yang tidak tertulis (lex non-scripta) dapat selaras dengan kebutuhan menjaga kepastian hukum.

Baca juga:

Keberagaman Hukum dan Masyarakat

Mahasiswa Hukum sejak semester pertama berkenalan dengan ungkapan ubi societas ibi ius. Pernyataan yang menggambarkan keterlindanan (perkembangan-perubahan) masyarakat dengan hukum yang juga terus berubah. Pada saat sama, ungkapan itu menyiratkan bahwa keberaturan-ketertiban yang memungkinkan adanya kehidupan masyarakat adalah adanya hukum dan, sebaliknya, hukum, bagaimanapun dikembangkan, tidak mungkin dan boleh sepenuhnya terlepas dari masyarakat. 

Pandangan seperti ini yang menggambarkan hukum sebagai cerminan masyarakat (the mirror thesis) dekat dengan pandangan Friedrich Carl von Savigny (1779-1861). Ia, menentang transplantasi kodifikasi dari Perancis (Code Napoleon, 1804) ke dalam negara dan masyarakat Jerman, menyatakan bahwa hukum tidak mungkin dan boleh dibuat-dirangkum ke dalam bentuk tertulis (kodifikasi). Alasannya, hukum adalah nilai-nilai yang hidup dan berkembang bersama masyarakat dan karena itu, hukum sebagai jiwa bangsa, tidak mungkin ditangkap-dirangkum ke dalam wujud tertulis oleh pembuat undang-undang.

Pemahaman sedikit berbeda muncul dari pandangan Eugen Ehrlich (1862-1922). Ia mengkontraskan the living law, the law practiced by society, to be found in social facts) dengan formal sources of law, as enforced by the State. Singkat kata, hukum perundang-undangan (buatan negara) tidak niscaya sama dan sebangun dengan hukum (tidak tertulis) yang hidup-berkembang dalam masyarakat.

Dari sudut pandang berbeda, tentang keniscayaan (keberagaman (sub-)sistem hukum atau legal pluralism), Sally Falk Moore (1924-2021) mengajukan pandangannya tentang semi-autonomous social fields, di mana hukum negara dan hukum yang hidup (dan masyarakat tempat kedua bentuk hukum tumbuh kembang) dimaknai sebagai social fields yang bersinggungan dan bertumpang tindih. Bertitik tolak dari social field itu pula dapat kita pahami keterlindanan masyarakat (dan hukum) local-nasional dengan hukum trans-inter nasional.

Kesamaan dari sebagian saja ragam cara pandang terhadap hukum dan masyarakat yang diungkap di atas setidaknya menunjukkan fakta tidak mungkinnya hukum negara (peraturan perundang-undangan) mendominasi dan menjadi satu-satunya sumber rujukan norma (hukum) bagi masyarakat ketika mengatur-mengendalikan kehidupan sehari-hari. Negara (termasuk hakim) dan masyarakat bagaimanapun juga akan terus berhadapan dengan keberlakuan ragam sub-sistem hukum (tertulis-tidak tertulis) yang juga tidak serta selaras satu sama lain.

Legal Pluralism di Indonesia

Lain dari itu, uraian singkat di atas kiranya menunjukkan bahwa konsep hukum yang hidup dapat dipahami dengan ragam cara tergantung pada pilihan pendekatan yang digunakan. Lantas bagaimana konsep ini dipahami di Indonesia? Pertama dapat dicermati dalam pembelajaran hukum di Indonesia perujukan pada konsep jiwa bangsa akan dikaitkan pada staasfundamentalnorm (Pancasila). Ini dengan ringkas dirumuskan oleh Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid ketika yang menyatakan: "Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila digali dan diambil dari bumi bangsa Indonesia sendiri. Karena itu seluruh sila-sila dalam Pancasila, sejalan dengan nilai-nilai yang hidup serta dipegang oleh seluruh masyarakat Indonesia."

Namun di sini dapat dicermati adanya pergeseran. Pancasila, dimaknai sebagai jiwa bangsa pada akhirnya dirumuskan, dituliskan dan dirangkumkan ke dalam Pembukaan UUD 1945. Lebih dari itu, pemahaman jiwa bangsa ini kerapkali juga ditundukkan pada tafsir resmi negara, seperti yang terjadi pada masa penataran pedoman-penghayatan-pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa; pada periode 1980-1990an). Pemahaman seperti ini sayangnya tidak terlalu berguna bagi hakim yang harus memeriksa dan memutus apa yang seharusnya menjadi hukum dalam perkara-perkara konkrit yang dihadapkan kepadanya.

Opsi lain adalah menafsir ketentuan Pasal 18 UUD 1945 (lama atau hasil amandemen). Ketentuan yang ada di dalam konstitusi membuka peluang bagi pengakuan dan penghormatan Negara akan daerah swatantra (volkgemeinschaften-zelfstandige gemeenschappen-inheemsche rechtsgemeenschappen) dan/atau swapraja (zelfbesturende landschappen). Ketentuan ini diterjemahkan menjadi pilihan kebijakan negara untuk memberi atau menolak pemberian pengakuan-penghormatan (hukum) atas keistimewaaan pemerintahan di daerah-daerah istimewa (Yogyakarta, Jakarta dan Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam), otonomi biasa atau khusus bagi pemerintah daerah (kabupaten-kota-desa-desa adat), maupun satuan masyarakat hukum adat serta klaim kepemilikan-penguasaannya atas sumberdaya alam.

Untuk yang terakhir persyaratan diberikannya pengakuan dan penghormatan dikaitkan pada kriteria: sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pra-kondisi yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan dan ketentuan (Permendagri 52/2014: pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat; Permen Kelautan dan Perikanan 8/2018: Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; Peraturan Dirjen Pengelolaan Ruang Laut 14/2018: juknis tata cara penetapan wilayah kelola masyarakat hukum adat dll), menjadi sejumlah prasyarat (normatif ataupun empiris) yang harus dipenuhi masyarakat adat untuk mendapat pengakuan-penghormatan.

Pertama sebagai subjek hukum publik yang berhak menetapkan-memberlakukan hukum adat di dalam wilayah adat (tanah komunal) dan kedua, sebagai subjek hukum (publik) yang berhak mengklaim penguasaan sah atas tanah dan/atau sumberdaya alam. Tidak atau belum jelas jangkauan pengakuan pemerintah tersebut: apakah masyarakat hukum adat akan diakui otonominya sebagai badan hukum public dengan kewenangan membuat-menjaga-menegakan hukum adat yang sudah dan akan ada atau sekadar mempertahankan hukum adat yang sudah ada sepanjang mengenai pengelolaan tanah atau sumberdaya alam (hutan)?

Bagaimanapun apa yang terletak di luar jangkauan pandangan di atas tentang hukum bukan hukum negara adalah keberlakuan hukum Islam bagi masyarakat adat ataupun komunitas muslim atau organisasi Islam lainnya, baik yang diatur ketat negara (dalam kompilasi hukum Islam ataupun kodifikasi hukum Islam oleh negara, misalnya di bidang ekonomi-syariah) maupun yang berkembang di luar jangkauan kendali negara. Juga berada di luar jangkauan, sayangnya juga penilaian dan evaluasi hakim, adalah keberlakuan “hukum tidak tertulis” yang secara khusus berkembang dan berlaku dalam komunitas atau kelompok-kelompok masyarakat (semi-autonomous social fields: resmi atau tidak resmi, termasuk oleh organisasi professional atau organisasi kemasyarakatan religius atau sekuler, bahkan oleh administrasi pemerintahan) ke dalam ataupun keluar. 

Beranjak dari pengamatan di atas tentang keberlakuan dan perbenturan (potensial maupun aktual dari) ragam sub-sistem hukum di Indonesia, pertanyaan lain muncul: apakah hanya hakim (dan ketika itu menjadi perkara di pengadilan) yang dapat mencari-menemukan (termasuk mengevaluasi-menguji keabsahan etis) nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat? Lagipula “rasa” keadilan seringkali di(salah-) tafsirkan menjadi sekadar apa yang secara emotif dirasakan pada saat tertentu sebagai merugikan atau menguntungkan kepentingan kelompok masyarakat (dominan atau elite). Penekanan pada nilai hukum yang tidak terumuskan secara tegas serta rasa keadilan justru membuka peluang untuk membenarkan penindasan dan perlakuan diskriminatif.

Penutup

Berhadapan dengan kebhinekaan (sub-)sistem hukum yang berlaku (termasuk khususnya the living law) di Indonesia, baik yang de jure dikendalikan negara atau de facto justru tidak dapat dikendalikan negara, persoalan menemukan dan memberlakukan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat tidak lagi dapat dikatakan hanya menjadi kewajiban hakim. Kelenturan-ketidakjelasan-kekaburan hukum tidak tertulis (dalam ragam pengertian di atas) yang terutama de facto berlaku di ruang public luar ruang pengadilan kiranya menjadi tantangan bagi upaya mewujudkan negara hukum yang berkeadilan di Indonesia.

*)Tristam Pascal Moeliono dan Anna Anindita Nur Pustika, keduanya adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Univeristas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait