Hukuman Diperberat Berlipat, Dua Terdakwa e-KTP Ajukan PK
Berita

Hukuman Diperberat Berlipat, Dua Terdakwa e-KTP Ajukan PK

Kuasa hukum menganggap keduanya bukanlah pelaku utama, sehingga pertimbangan hakim dalam memberi putusan harus dikaji kembali.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Dua terdakwa kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) Irman dan Sugiharto divonis jauh lebih berat oleh Majelis Mahkamah Agung. Dalam tingkat kasasi keduanya dihukum masing-masing 15 tahun penjara yang berarti hampir dua kali lebih berat dari sebelumnya 7 tahun dan Sugiharto menjadi tiga kali lipat dari sebelumnya 5 tahun.

 

"Perkara 430K/Pidsus/2018 putus kemarin Rabu tanggal 18 kedua terdakwa, dipidana masing-masing 15 tahun, denda masing-masing Rp500 juta subsider 8 bulan," kata Juru Bicara MA Suhadi saat dikonfirmasi wartawan, Jum’at (20/4/2018).  

 

Selain itu, Irman dihukum membayar uang pengganti sebesar US$500 ribu dan Rp1 miliar dikurangi dengan uang yang sudah dikembalikan ke KPK sebesar US$300 ribu. Jika tidak bisa menggantikan maka harta bendanya dirampas untuk negara dan bila hartanya juga tidak cukup maka pidananya ditambah selama 5 tahun.

 

Sedangkan Sugiharto dibebani uang pengganti sebesar US$450 ribu ditambah Rp460 juta dikompensasi dengan uang yang telah dikembalikan sebesar US$430 ribu ditambah satu unit mobil Honda Jazz yang dihargai Rp150 juta. Jika tidak bisa mengembalikan maka harta bendanya dirampas untuk negara dan bila hartanya juga tidak cukup maka pidananya ditambah selama 2 tahun.

 

"Kemarin diputus Pak Artijdo sebagai ketua majelis, anggota Pak Latif dan Pak Lumme," terang Suhadi. Baca Juga: MA Perberat Vonis Irman Sugiharto Jadi 15 Tahun Bui

 

Soesilo Ariwibowo, kuasa hukum Irman dan Sugiharto mengaku belum mengetahui secara pasti mengenai putusan ini. Ia hanya mendengar kabar jika dua kliennya divonis lebih berat dari putusan sebelumnya. Ia pun penasaran apa pertimbangan majelis yang menjadi dasar menambah berat pidana kepada mantan dua pejabat Kemendagri itu.

 

"Apa alasan memperberat dua klien saya, pertimbangannya apa dan arah hukumnya mau kemana, gitu loh," kata Susilo kepada Hukumonline.

 

Susilo mengakui di tataran pelaksana Irman yang menjabat sebagai Dirjen Dukcapil Kemendagri dan Sugiharto selaku Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil memang mempunyai peran besar. Namun, hal itu tak lantas membuat keduanya sebagai aktor utama.

 

"Karena ini di tataran pelaksanaan iya di Kemendagri, tetapi aktor utama kan gak cukup hanya itu. Jadi siapa sebenarnya, saya juga bertanya-tanya ini, kalau hukuman 15 tahun kan saya juga mau tau pertimbangannya apa," terangnya.

 

Karena itu, ia berencana akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) ke MA setelah mempelajari berkas putusan kasasi ini secara lengkap. "Tentu (ajukan PK), sepintas ya karena saya belum dapat putusannya. Pertimbangan mungkin lebih ke pengajuan PK," jelas Soesilo.

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah menghormati putusan ini. Pihaknya akan mempelajari putusan setelah mendapat salinan lengkap. Sebab, ada kemungkinan putusan ini saling berkaitan dengan putusan Andi Agustinus atau Andi Narogong dan juga Setya Novanto nantinya.

 

"Terkait dengan posisi sebagai Justice Collaborator (JC), yang kami pahami dan harapkan, semua pihak memiliki pemahaman yang sama bahwa ketika seseorang menjadi JC dan sudah membuka peran pihak lain secara signifikan, maka ada fasilitas keringanan tuntutan, hukuman dan hak narapidana tertentu dapat diberikan," harap Febri.

 

Ia menegaskan, KPK tidak sembarangan mengabulkan permohonan Justice Collaborator kepada seorang tersangka ataupun terdakwa. Jika status JC diberikan, maka yang bersangkutan memang mempunyai kontribusi besar mengungkap pelaku lain termasuk aktor utama.

 

"Kemauan para terdakwa untuk membuka fakta-fakta di sidang sangat membantu penanganan perkara ini," katanya.

Tags:

Berita Terkait