ICW: Ini Penyebab Kinerja KPK Menurun
Berita

ICW: Ini Penyebab Kinerja KPK Menurun

Mulai dari kriminalisasi pimpinan KPK, penyidik KPK, gelombang praperadilan, hingga kurangnya dukungan politik oleh Presiden kepada KPK.

CR19
Bacaan 2 Menit
ICW: Ini penyebab kinerja KPK menurun. Foto: RES.
ICW: Ini penyebab kinerja KPK menurun. Foto: RES.

ICW menyebutkan sepanjang semester pertama tahun 2015, secara umum kinerja aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK) masih cukup baik. Namun, hal sebaliknya bagi KPK. Menurut ICW, kinerja lembaga antirasuah itu sepanjang semester I 2015, mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari upaya pengembalian kerugian keuangan negara selama enam bulan pertama di tahun 2015 oleh KPK mengalami penurunan.

Catatan ICW, sepanjang semester I 2015, KPK baru hanya menyidik 10 kasus korupsi dengan nilai kerugiannya mencapai Rp106,4 miliar. Padahal, sepanjang semester I dari tahun 2010 sampai 2014, KPK rata-rata menyidik 15 kasus korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp1,1 Triliun.  

“Kinerja aparat penegak hukum semester I 2015 cukup baik karena berada di atas rata-rata yakni 253 kasus. Namun kerugian negara yang terungkap rata-rata yaitu Rp2,7 triliun. Hal itu terjadi akibat kinerja KPK menurun,” kata Anggota Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah di Cikini, Jakarta (14/9).

Wana menjelaskan, kinerja KPK kian menurun terutama usai menangani dugaan kasus korupsi yang menimpa Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG). Saat itu, KPK menetapkan BG sebagai tersangka tindak pidana korupsi pada 12 Januari 2015. “Awal tahun 2015 terjadi kisruh antara dua institusi yang menyebabkan dikriminalisasi dua pimpinan KPK,” katanya.

Tak lama setelah menetapkan BG sebagai tersangka, dua pimpinan KPK saat itu secara mendadak juga ditetapkan tersangka oleh Kepolisian. Menurut Wana, kondisi itu secara tidak langsung membuat KPK semakin menurun kinerjanya. Bahkan setelah itu, giliran salah satu penyidik KPK, yakni Novel Baswedan dikriminalisasi. “Padahal kasusnya itu ada di tahun 2004.”

Tak hanya itu, serangan dalam rangka upaya melemahkan kerja-kerja KPK juga dilakukan dari sisi teknis pemberantasan tindak pidana korupsi. Dikatakan Wana, setidaknya KPK mendapat sejumlah gugatan praperadilan terkait tindakan KPK dalam menetapkan sejumlah tersangka.

“Kita melihat setidaknya ada sepuluh orang tersangka korupsi yang mengajukan praperadilan. Di antaranya Hadi Poernomo, Suryadharma Ali, Sutan Bhatoegana, dan sebagainya,” papar Wana.

Menurutnya, serangan-serangan itu secara tidak langsung mengubah konstelasi, psikolgi, dan motivasi seluruh jajaran di KPK. Sehingga, berdampak pada kemampuan penyidikan. Selain menerima serangan, Wana juga mengatakan, saat itu dukungan politik berupa perlindungan politik bagi KPK dari Presiden Joko Widodo dan kelompok politik yang ada belum memadai.

“Kurangnya dukungan politik oleh Presiden dalam melindungi KPK dari kriminalisasi penegak hukum. Ketika ada kriminalisasi, Presiden tidak mengambil sikap, itu yang kita lihat,” paparnya 

Anggota Divisi Investigasi ICW lainnya, Lais Abid menambahkan, ke depan Presiden RI wajib memberikan dukungan poltik manakala pimpinan dan penyidik KPK mendapat serangan. Baik serangan berupa kriminalisasi dengan menetapkan sebagai tersangka, maupun pelemahan-pelemahan dari sisi legislasi.

Tak hanya itu, Lais juga berharap, ke depan KPK perlu meningkatkan kinerja penyidikan mengingat kontribusi KPK secara umum sangat vital perannya. Sebab, KPK tercatat memberikan kontribusi sebesar 30 persen terhadap total nilai kerugian korupsi yang ditangani di seluruh Indonesia.

“Presiden jangan lupa kuatkan KPK. Jika kinerja penyidikan KPK mengalami penurunan maka hal tersebut berdampak terhadap indikator kinerja penyidikan kasus korupsi secara nasional,” tandasnya.

Sektor Infrastruktur
Dari pemetaan ICW sepanjang semester I 2015, ditemukan bahwa sektor infrastruktur menimbulkan kerugian negara paling signifikan, yakni sebesar Rp832,3 miliar dengan jumlah 139 kasus. Sedangkan sektor non infrastruktur kerugian negaranya mencapai Rp411,4 miliar dengan jumlah 169 kasus.

“Meskipun kasus yang termasuk infrastruktur tergolong lebih rendah dari non infrastruktur, tapi kerugian Negara yang ditimbulkan hampir dua kali lipatnya,” jelas Wana.

Wana mengatakan, kasus korupsi banyak dilakukan oleh aktor yang berlatarbelakang pejabat sebanyak 212 kasus. Sedangkan dari segi lokasi, kasus korupsi banyak berasal dari wilayah Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT), masing-masing menyumbang kerugian negara sebesar Rp120,6 Miliar dengan nilai suap sebesar Rp500 Juta.

Atas dasar itu, lanjut Anggota Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri, ke depan diharapkan aparat penegak hukum untuk fokus menyelesaikan sejumlah kasus di sektor infrastruktur dan non infrastruktur. Selain itu, ia juga berharap, kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan bagi kepala daerah dalam penggunaan anggaran, tidak dijadikan acuan bagi aparat penegak hukum.

“Hati-hati! Jangan sampai kebijakan itu melindungi koruptor yang ingin korupsi dana infrastruktur,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait