Ini Saran KPK Soal Vaksinasi Berbayar Agar Terhindar Korupsi
Terbaru

Ini Saran KPK Soal Vaksinasi Berbayar Agar Terhindar Korupsi

Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan minitoring pelaksanaan Vaksin GR secara transparan, akuntabel dan pastikan tidak ada terjadi praktik fraud, jangan ada niat jahat untuk melakukan korupsi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Foto: RES
Ilustrasi pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Foto: RES

Rencana memberlakukan vaksinasi berbayar individu atau Vaksin Gotong Royong mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk lembaga anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga tersebut terlibat dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan pada Selasa (13/7).

KPK menyampaikan masukan terhadap pelaksanaan vaksinasi berbayar tersebut agar pelaksanannya terhindar dari korupsi. “Saya hadir dalam rapat dan saya sampaikan pertimbangan, latar belakang, landasan hukum, rawan terjadi fraud, saran tindak lanjut. Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi dan evaluasi program,” jelas Ketua KPK, Firli Bahuri, Rabu (14/7) dalam keterangan persnya.

Dia juga menyampaikan saran langkah-langkah strategis menyikapi potensi fraud jika vaksin mandiri dilaksanakan berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya. Dia berharap pelaksanaannya tersebut tidak terjadi korupsi. “Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Saya ingin tidak ada korupsi,” tambah Firli.

Beberapa saran yang disampaikan Firli terhadap pemerintah yaitu mendukung percepatan vaksinasi bagi masyarakat. Kemudian, penjualan Vaksin Gotong Royong ke individu melalui Kimia Farma meskipun sudah dilengkapi dengan Peraturan Menteri Kesehatan, namun dianggap masih terdapat risiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin seperti kemunculan reseller. Selain itu, terdapat kekhawatiran efektivitas rendah karena jangkauan Kimia Farma terbatas.

Firli juga menekankan penggunaan vaksin gotong royong ini ke individu direkomendasikan hanya menggunakan jenis vaksin GR yang telah ditentukan atau tidak boleh menggunakan vaksin hibah baik bilateral maupun skema COVAX. Kemudian, transparansi transparansi data alokasi dan penggunaan vaksin GR berdasarkan sesuai nama, alamat atau by name, by address dan badan usaha. (Baca: Vaksinasi Berbayar Berisiko Kurangi Stok Vaksin Gratis Individu)

Sehubungan pelaksanannya, VGR ini harus melalui lembaga atau intitusi yang menjangkau kabupaten dan kota. Misalnya, rumah sakit swasta se-Indonesia atau Kantor Pelayanan Pajak. “Mereka punya basis data wajib pajak yang mampu secara ekonomis, atau lembaga lain selain retail seperti Kimia Farma. Perbaikan logistik vaksin untuk mencegah vaksin mendekati kadaluarsa dan distribusi lebih merata,” jelas Firli.

Selain itu, dia merujuk Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Menkes diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin serta mekanisme vaksinasi.

“Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan minitoring pelaksanaan Vaksin GR secara transparan, akuntabel dan pastikan tidak ada terjadi praktik fraud, jangan ada niat jahat untuk melakukan korupsi,” kata Firli.

Firli juga menyampaikan data menjadi kunci kelancaran dan ketepatan pelaksanaan vaksin gotong royong. Sehingga, dia mengimbau agar Kementerian Kesehatan harus menyiapkan data calon peserta Vaksin GR sebelum dilakukan vaksinasi. Selain itu, dia juga memberikan catatan, yaitu KPK tidak mendukung pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah sementara tata kelolanya beresiko.

KPK mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar. Sebelum pelaksanaan vaksin tersebut, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan basis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha atau asosiasi.

Terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.19 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes No.10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19 menjadi dasar hukum pelaksaan vaksin berbayar. Rencananya, penerapan vaksin berbayar tersebut dilakukan pada Senin (12/7) lalu, namun ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Penerapan vaksin berbayarr tersebut mendapat penolakan dari publik karena dinilai bentuk inkonsistensi pemerintah yang selama ini tengah memberikan vaksinasi gratis kepada masyarakat. Vaksin yang digunakan adalah vaksin Sinopharm yang harganya dipatok sebesar Rp Rp 879.140 per orang (dua kali dosis/suntikan).

Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan seperti LaporCovid19, YLBHI, ICW, Lokataru, PSHK, TII, Pusat Studi Hukum HAM FH UNAIR, KontraS, IGJ, Jala PRT, RUJAK, Covid Survivor Indonesia, Walhi, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia, KawalCovid19, AJI, menyoroti dan menolak kebijakan vaksinasi gotong royong berbayar itu.

Inisiator Platform LaporCovid-19, Irma Hidayana, mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan mandat konstitusi yakni memenuhi hak atas kesehatan setiap warga negara termasuk untuk mendapatkan vaksin Covid-19 secara gratis. Tapi di tengah peningkatan kasus penularan Covid-19, pemerintah malah menerbitkan program vaksin gotong royong berbayar untuk individu/perorangan sebagaimana tertuang dalam Permenkes No.19 Tahun 2021.

Vaksinasi berbayar ini, menurut Irma bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo pada Desember 2020 yang menyebut vaksin Covid-19 diberikan secara gratis untuk seluruh masyarakat. “Vaksinasi berbayar untuk individu/perorangan itu tidak etis. Praktik seperti ini jelas pelanggaran terhadap hak kesehatan masyarakat yang dilindungi konstitusi,” kata Irma ketika dikonfirmasi, Senin (12/7/2021).

Menurut Koalisi, ada 3 alasan utama yang menjadi dasar menolak vaksinasi gotong royong berbayar ini. Pertama, melanggar semangat dan mandat konstitusi, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak atas kesehatan setiap warga negara.

Dari sisi konstitusi, Irma mengingatkan Pasal 28H ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menyebutkan setiap orang berhak sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menegaskan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kedua, Koalisi melihat ada manipulasi terminologi herd immunity guna mengambil keuntungan. Irma mengatakan salah satu argumen yang digunakan pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi adalah mempercepat tercapainya kekebalan kelompok atau herd immunity. Padahal kekebalan kelompok bisa cepat tercapai jika vaksinasi dilakukan sesuai prioritas kerentanan, melalui tata laksana yang mudah, efikasi dan keamanan vaksin yang kuat, serta edukasi vaksinasi yang adekuat guna mengurangi vaccine hesitancy di masyarakat.

Kendati upaya percepatan vaksinasi telah dilakukan di sejumlah wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan lainnya, tapi masih banyak daerah yang rendah cakupannya. Selain itu, adanya kendala teknis pelaksanaan vaksinasi massal seperti penumpukan/antrian, tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menggulirkan vaksinasi berbayar.

“Pemerintah harus memperbaiki tata laksana ini, bukan menjadikan vaksinasi berbayar sebagai alibi solusi,” ujar Irma.

Ketiga, Koalisi menilai pemerintah menerbitkan regulasi yang terus berubah, sehingga tidak konsisten. Misalnya, Permenkes No.84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang menjamin penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya/gratis. Kemudian diubah menjadi Permenkes No.10 Tahun 2021 yang mengatur badan hukum/usaha dapat melaksanakan vaksinasi gotong royong untuk individu/perorangan. Diubah lagi menjadi Permenkes No.19 Tahun 2021 yang menegaskan vaksinasi individu/perorangan biayanya ditanggung yang bersangkutan.

Irma menjelaskan pengadaan vaksinasi Covid-19 selama ini menggunakan skema pembelian oleh pemerintah dan/atau mendapatkan donasi dari negara lain. Artinya, anggaran yang digunakan untuk membeli vaksin adalah uang rakyat. Soal lambatnya pelaksanaan dan keterbatasan ketersediaan vaksin, pemerintah harusnya memaksimalkan akses dan kemudahan dalam pelaksanaan vaksinasi program, bukan gotong royong berbayar.

Koalisi menegaskan vaksinasi gotong royong berbayar tak hanya cerminan kegagalan pemerintah menjalankan mandatnya melakukan vaksinasi Covid-19, tapi juga menegaskan pemerintah tidak etis karena membisniskan vaksin Covid-19 yang merupakan public good. Karena itu, Koalisi mendesak pemerintah untuk mencabut program vaksinasi gotong royong berbayar ini.

Tags:

Berita Terkait