Inpres Moratorium Sawit di Daerah Butuh Dukungan Pemerintah
Berita

Inpres Moratorium Sawit di Daerah Butuh Dukungan Pemerintah

Pemerintah daerah butuh panduan teknis dan dukungan dana dari APBN untuk menjalankan Inpres No.8 Tahun 2018 secara efektif.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat Syafriansyah memaparkan 60 persen wilayah di kabupaten Sanggau merupakan kawasan hutan. Komoditi utama yakni perkebunan sawit seluas 264 ribu hektar yang mayoritas lahan itu dikelola swasta (111 ribu hektar). Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sanggau sebanyak 38 perusahaan.  

 

Syafriansyah menilai ada dampak positif dan negatif perkebunan sawit bagi kabupaten Sanggau. Dampak positifnya, industri ini menyerap banyak tenaga kerja, tapi negatifnya terjadi deforestasi. Jumlah PAD yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit relatif tidak signifikan. Sejak 2016 kabupaten Sanggau tidak menerbitkan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam rangka menindaklanjuti Inpres No.8 Tahun 2018 ini, Bupati Sanggau telah menerbitkan Surat Edaran No.065/3442/HK-B. “Tahun ini kami mencabut izin 4 perusahaan sawit karena tidak melaksanakan kewajiban,” ujarnya.

 

Bupati Kayong Utara Provinsi Kalimantan Barat Citra Duani menegaskan pihaknya mendukung moratorium perkebunan kelapa sawit. Meski mengakui dampak positif industri ini mampu menyerap tenaga kerja dan membuka jalan ke daerah terisolasi, tapi dampak negatifnya ternyata besar. Citra mencatat sampai saat ini perusahaan sawit di wilayahnya belum memenuhi kewajiban untuk menyediakan kebun rakyat (plasma). Selain itu, jalan di kabupaten rusak karena kerap dilintasi mobil pengangkut sawit. Kontribusi terhadap PAD juga tidak signifikan.

 

Dia juga menyoroti ada praktik buruk yang dilakukan sebagian perusahaan sawit yakni setelah mengantongi izin mereka menebangi kayu yang ada di wilayah konsesi. Setelah itu izin tersebut dijual kepada pihak lain. “Sawit tidak memberi kontribusi yang baik untuk daerah (kabupaten Kayong Utara), maka kami tidak akan mempertahankan perkebunan sawit,” ungkapnya.

 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menghitung sekitar 60 persen perkebunan sawit dikuasai swasta. Selama negara tidak menguasai perkebunan sawit, maka akan sulit untuk membenahi tata kelolanya. Tren industri pengelolaan kelapa sawit di tingkat global sudah berubah, orientasinya sekarang yakni industri sawit yang berkelanjutan, sehingga menjadi nilai tambah bagi ekologi dan masyarakat.

 

“Inpres No.8 Tahun 2018 merupakan pintu masuk pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit,” kata dia.

 

Pemerintah daerah yang memiliki komitmen untuk melaksanakan Inpres No.8 Tahun 2018 harus mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah pusat. Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah daerah yakni ketiadaan anggaran.

Tags:

Berita Terkait