Institusi Keimanan Bisa Selamatkan Sumber Daya Alam
Berita

Institusi Keimanan Bisa Selamatkan Sumber Daya Alam

Persoalan tambang yang merupakan bentuk pencaplokan sumber daya menuntut untuk segera dicarikan solusi.

KAR
Bacaan 2 Menit
Penebangan hutan. Foto : kerusakan-hutan.blogspot.com
Penebangan hutan. Foto : kerusakan-hutan.blogspot.com
Gereja seharusnya terlibat dalam gerakan mewalan setiap manifestasi neoimperalisme di wilayah tambang. Hal itu harus dilakukan agar institusi agama tersebut tidak disebut sebagai komparador neoimperalisme. Dengan demikian, gereja tidak boleh “masuk angin” dalam setiap laku profetisnya membebaskan dan menyelamatkan umat dari monster tambang.

Demikian diungkapkan oleh Diakon Benny Dehar, penulis buku “Mengapa Geraja (Harus!) Tolak Tambang” dalam sebuah diskusi, Rabu (12/8). Menurut Benny, hingga kini masih banyak umat yang berharap bahwa Gereja bukan sekedar obat penenang bagi para investor tambang. Lebih dari itu, sejatinya gereja sebagai institusi agama masih merupakan sebuah kekuatan sosial penting.

“Atas posisi itulah, peran gereja semakin penting dalam konteks kontra-operasi tambang yang imperilistik,” katanya.

Benny pun mengkritisi, bahwa semua pihak termasuk juga pilar keimanan seperti gereja, harus bergerak memperjuangkan masa depan bangsa. Pasalnya, menurut Benny, persoalan tambang yang merupakan bentuk pencaplokan sumber daya (resources grabbing) menuntut untuk segera dicarikan solusinya. Ia mengingatkan, tuntutan itu sebagai bagian dari penjaminan survival, wellbeing, dan dignity bangsa Indonesia.

Lebih lanjut dirinya menyayangkan, perjuangan yang dilakukan gereja menolak tambang yang imperialistik masih bersifat sectarian. Artinya, perjuangan itu menurut Benny belum menjadi sebuah sistem yang lintas sektoral. Padahal, ia melihat sudah banyak elemen masyarakat sipil lainnya yang juga masuk dalam barisan penolakan itu.

“Perjuangan ini masih sektarian, sendiri-sendiri. Kita harus duduk bersama untuk membahas semua yang penting bagi kebaikan bersama. Sikap rendah hati untuk mau mendengarkan lintas sektoral dan institusi dan kepentingan. Selama kita masih berjuang sendiri maka neoimperalisme dengan segenap turunannya selalu akan menang dan mengeksploitasi tanah kita,” imbuhnya.

Aktivis Jaringan Advokasi Tambang, Ki Bagus Hadi Kusuma, menambahkan bahwa sejatinya tak hanya gereja yang harus menolak tambang yang merenggut sumber daya alam. Ia menyebut, entitas agama lainnya pun memiliki kewajiban yang sama. Tak terkecuali, menurut Bagus, institusi agama Islam seperti pesantren.

Bagus pun mengungkapkan, telah ada beberapa pionir pesantren agrarian yang menjadi ikon perlawanan tambang. Ia mencontohkan, Pondok Pesantren Biharul Ulum yang berlokasi di Desa Cisarua, Kabupaten Bogor. Menurutnya, pesantren itu menjadi lambang perlawanan tambang emas di sekitar sana.

Ia mengatakan, dalam kurikulumnya Pesantren Biharul Ulum tak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengenai hal-hal terkait agraria. Bagus mengatakan, selain dasar-dasar pertanian, para santri juga diajarkan identifikasi potensi desa non-tambang dan politik agrarian serta ekologi kerakyatan. Menurut Bagus, bahkan di Pesantren ini bahkan ilmu politik agraria sudah diajarkan sejak dini ditingkat SD.

Pesantren serupa juga tumbuh di Garut. Bagus menuturkan, kehadiran Pesantren At-Thaariq di Garut juga menjadi tonggak transformasi sosial melalui pendidikan. Pesantren Ath Thaariq mendidik santrinya yang tinggal di pondok untuk mengkonsumsi pangan yang diproduksi sendiri. Selain itu, kebiasaan – kebiasaan berperilaku ramah lingkungan pun dibentuk sejak dini dan dibiasakan terus menerus oleh para pelaku belajar di pesantren.

Menurut Bagus, dua contoh pesantren tersebut membuktikan bahwa institusi keimanan pun bisa berkontribusi menyelamatkan sumber daya alam. Pasalnya, ia mengingatkan bahwa Ma’shum Pesantren mempunyai tiga fungsi yakni, fungsi religious (diniyyah), fungsi sosial (ijtimaiyyah) dan fungsi edukasi (tarbawiyyah).
“Kedudukan ini memberikan isyarat bahwa penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak menggunakan pendekatan kultural untuk mengubah paradigma orang sekaligus melakukan proses penyadaran tentang bahaya tambang dan memupuk kecintaan kepada lingkungan hidup,” katanya.
Tags:

Berita Terkait