Instruksi 1975 Dinilai Disriminatif dan Tak Sejalan dengan Prinsip Hukum Agraria Nasional
Utama

Instruksi 1975 Dinilai Disriminatif dan Tak Sejalan dengan Prinsip Hukum Agraria Nasional

Menurut Gratianus, kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945, UU Pokok Agraria, bahkan instrumen-instrumen hak asasi manusia khususnya terkait diskriminasi.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang memiliki status istimewa karena latar belakang sejarah dan politik. Berbagai keistimewaan dari provinsi ini dapat diidentifikasi dari sistem pemerintahan otonom dan kebebasan dasar mengembangkan budaya yang seluas-luasnya, hingga kebijakan pertanahan. Namun, kebijakan soal pertanahan di provinsi itu menjadi sorotan yang menjadi kajian dalam penulisan disertasi.   

“Namun dalam hal pertanahan, terdapat kebijakan diskriminatif yang melarang pemberian hak milik atas tanah bagi kelompok Tionghoa. Kebijakan ini merupakan tafsir dari hubungan kesejarahan antara penguasa Jogja dan kelompok Tionghoa yang pernah ada,” ujar Gratianus Prikasetya P. saat  sidang promosi doktor atas disertasinya berjudul "Perluasan Makna Negara Kesatuan Republik Indonesia Ditinjau dari Kebijakan Pertanahan di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta", di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (29/8/2022). 

Ia menyebutkan hubungan yang melibatkan keduanya memiliki sifat paradoksal yakni “saling menguntungkan namun penuh prasangka”. Hal itu bisa dilihat dari implementasi Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi atau yang disebut sebagai Instruksi 1975 dimana kelompok Tionghoa tidak dapat diberikan Hak Milik atas Tanah. Sebagai gantinya, mereka hanya memperoleh hak-hak lain, seperti Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Guna Usaha.

Baca Juga:

Menurut Gratianus, kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip hukum agraria nasional yang berlaku penuh di wilayah Yogyakarta sejak tahun 1984 silam. Padahal, hubungan baik antara Kesultanan Jogja dan kelompok Tionghoa telah tampak sebelum Perjanjian Giyanti Tahun 1755. Ia menyebutkan kelompok Tionghoa menjadi mitra penguasa awal kesultanan Jogya dalam merebut takhta melawan penguasa mataram yang bersekutu dengan VOC.

Terlebih, berdasarkan berbagai pandangan dari para pemangku kepentingan di Jogja, seperti Kepala kantor Pertanahan dan para akademisi semakin menguatkan anggapan bahwa hubungan antara kesultanan dan kelompok Tionghoa sangat baik serta saling menguntungkan. Meski demikian, masih terdapat beberapa pandangan yang menilai larangan pemberian hak milik atas tanah terhadap kelompok Tionghoa di Jogja bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan kebijakan pertanahan nasional serta UUD 1945.

“Pandangan ini berasal dari perwakilan Kementerian Perekonomian, Komnas HAM, beberapa akademisi, dan perwakilan kelompok Tionghoa sendiri. Kelompok Tionghoa menjadi pihak yang paling merasakan dampak Instruksi Tahun 1975. Berbagai upaya seperti mengirimkan surat resmi ke Pemprov Yogjakarta, DPRD Yogyakarta, Badan Pertanahan Nasional, DPR RI, Komnas HAM, bahkan ke Presiden RI telah mereka tempuh meski tidak mendapatkan hasil yang memuaskan,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait