Intelijen Negara Dinilai Lemah di Papua
Berita

Intelijen Negara Dinilai Lemah di Papua

Wakil Ketua DPR akui kasus Papua pelik

RFQ
Bacaan 2 Menit
Intelijen Negara Dinilai Lemah di Papua
Hukumonline

Aksi penyerangan bersenjata terhadap aparat keamanan yang berujung tewasnya delapan prajurit TNI dipandang akibat lemahnya intelijennegara. Tewasnya prajurit TNI dan sipil di Papua Kamis 21 Februari lalu menjadi peristiwa penyerangan terburuk dalam sejarah keamanan di negeri ini, tak kurang dari 12 orang tewas, mayoritas korban adalah aparat militer.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemegang tonggak kepemimpinan tertinggi harus bertanggungjawab atas lemahnya sistem intelijen keamanan. Meskipun tentara dan kepolisian punya lembaga intelijen, plus lembaga intelijen lain, ternyata sulit memprediksi gerakan pengganggu keamanan di Papua.

Neta menawarkan dua hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, pergantian pucuk pimpinan aparat keamanan di wilayah Papua. Kedua, evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kapolri dan Panglima TNI. “Tertembaknya delapan anggota TNI hingga tewas dalam sehari adalah sebuah peristiwa yang sangat memalukan bangsa ini dan menunjukan pemerintah tidak becus dalam membangun sistem keamanan di negeri ini, khususnya Papua,” ujarnya.

Neta mengatakan pemerintah tak boleh tinggal diam terhadap peristiwa tersebut, apalagieskalasi ancaman terhadap keamanan di tahun 2013 kian memanas. Neta mencatatwilayah Papua, Jakarta, Sulteng, Sulsel, Solo, Sumut, Sumsel, dan Lampungperlu dicermati dari sisi keamanan.

Ia menegaskan pemerintah perlu melakukan antisipasi dengan mengedepankan pimpinan aparat keamanan yang memiliki kapabilitas dan profesional dalam melindungi masyarakat sekaligus prajurit polisi dan TNI. Menurutnya, tanpa pembenahan di jajaran aparat keamanan, pemerintah akan terus kecolongan menjaga situasi keamanan dan ketertiban di negeri ini, khususnya di bumi Cenderawasih Papua.

Terpisah, ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan punya pandangan serupa. Menurutnya konflik bersenjata di tanah Papua dipandang sebagai perang non konvensional. Pasalnya kelompok pelaku menggunakan pola perang gerilya dan teror bersenjata. Dalam menangani aksi penyerangan di Papua dibutuhkan pasukan berkualifikasi khusus. “Indonesia telah memiliki pasukan tersebut, salah satunya adalah Kopassus yang memiliki grup sandiyudha dan detasemen Gultor,” ujarnya.

Gunawan mencatat, sepanjang konflik di tanah Papua, Kopassus telah diterjunkan semenjak era Trikora hingga 2005 lalu. Kala itu, sebanyak 250 personil Satgas Cendrawasih Kopassus ditarik. Sehingga Kopassus tak lagi beroperasi di Papua. Namun, lanjut Gunawan, berdasarkan dokumen Satgas Ban-5 Pos I Kotaraja yang bocor menjelaskan masih adanya prajurit Kopassus yang gugur. “Ini mencerminkan Kopassus masih ada di Papua,” katanya.

Menjadi persoalan yang tak pernah terjawab, konflik Papua masih terus berlanjut kian tahun. Menurut Gunawan, hal itu menunjukan konflik Papua tak hanya dapat diredam dengan pendekatan keamanan. Tetapi menggunakan pendekatan persuasif. Ia berpendapat masih adanya persoalan pola keamanan di tanah Papua yang berujung tewasnya prajurit TNI, melanggar HAM dan gagal mengatasi gangguan keamanan. “Pelaku teror harus ditindak tegas, karena anti dialog,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santosa berpandangan persoalan Papua menjadi hal yang pelik, persoalan kecil dapat memanas menjadi persoalan yang besar. Ia menegaskan alasan apapun yang berujung tewasnya prajurit TNI tak dapat dibenarkan. Menurutnya tewasnya prajurit TNI sebagai pelanggaran berat. Ia meminta aparat segera menangkap pelaku.

DPR telah meminta aparat keamanan mengejar pelaku dan mengungkap motif penembakan. Pelaku harus ditindak tegas. “Saya telah meminta kepada jajaran kepolisian negara bantu TNI untuk buru dengan tuntas pelaku kejahatan itu karena ini ada prajurit dan sipil, dan suasana memanas,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait