IOJI: Indonesia Terikat UNCLOS, TSS Harus Dipatuhi Demi Keamanan Laut
Utama

IOJI: Indonesia Terikat UNCLOS, TSS Harus Dipatuhi Demi Keamanan Laut

Pasal 53 ayat (11) UNCLOS ditegaskan bahwa kapal-kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut (archipelagic sea lane) dan skema pemisah lalu lintas atau traffic separation scheme (TSS) yang berlaku yang ditetapkan oleh negara kepulauan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Co-Founder IOJI, Andreas Aditya Salim, dalam press briefing mengenai Analisis Keamanan Maritim, Senin (31/10/2022).
Co-Founder IOJI, Andreas Aditya Salim, dalam press briefing mengenai Analisis Keamanan Maritim, Senin (31/10/2022).

Sejak didirikan pada tahun 2020, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) rutin melaksanakan press briefing terkait ancaman keamanan laut di perairan Indonesia. Kali ini, IOJI berfokus pada deteksi dan analisis peristiwa selama bulan Juli sampai dengan September 2022. Terdapat 3 poin besar dari hasil temuan IOJI.

Pertama, perihal kegiatan illegal fishing atau dugaan illegal fishing oleh kapal ikan Vietnam di daerah laut Natuna Utara di wilayah negosiasi landas kontinen antara Indonesia dan Vietnam. Kemudian ancaman China Coast Guard (CCG) terhadap nelayan-nelayan Indonesia terutama di daerah Natuna Utara. Terakhir, mengenai perlintasan Yuan Wang 5, khususnya di bulan September 2022.

“Negara Kepulauan seperti Indonesia memiliki hak (terikat, red) berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UNCLOS untuk menetapkan alur laut kepulauan (archipelagic sea lane) dan juga skema pemisah berdasarkan Pasal 53 ayat (6). Kemudian skema pemisah adalah kapal-kapal dari negara manapun bisa melintas ini syaratnya continuously (kontinu), expeditiously (cepat), unobstructedly (tidak terganggu) antara satu ZEE dengan ZEE lain,” ujar Co-Founder IOJI, Andreas Aditya Salim, dalam press briefing mengenai Analisis Keamanan Maritim, Senin (31/10/2022).

Baca Juga:

Spesifik mengenai skema pemisah atau traffic separation scheme (TSS), ia memaparkan dalam UNCLOS terdapat 3 pasal yang dapat dirujuk. Antara lain Pasal 22 ayat (1), Pasal 41 ayat (1), dan Pasal 53 ayat (6). Ketiganya memiliki tujuan jelas untuk keselamatan pelayaran. Lebih lanjut, pada Pasal 53 ayat (11) UNCLOS ditegaskan bahwa kapal-kapal yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku yang ditetapkan oleh negara kepulauan.

Andreas menilai dalam pembuatan TSS tentu tidak mudah. Progress dilakukan pemerintah bertahun-tahun dengan melakukan konsultasi bersama berbagai negara sampai dengan badan organisasi internasional, seperti IMO (International Maritime Organization). “Saat TSS sudah dipublikasikan luas, berdasarkan UNCLOS, TSS itu sah dan berlaku secara hukum. Harus dipatuhi oleh kapal manapun yang melintas di alur laut kepulauan Indonesia,” kata dia.

Dari hasil analisis hukum yang dilakukan atas temuan-temuan IOJI, dikonklusikan operasi kapal Vietnam di sebelah selatan garis kontinental Indonesia dan Vietnam merupakan pelanggaran terhadap hak kedaulatan Indonesia dan dapat disanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Perihal operasi kapal Vietnam di sebelah utara garis landas kontinen menurut IOJI juga menunjukkan ketiadaan iktikad baik dan ketiadaan semangat kerja sama dari pemerintah Vietnam terhadap proses perundingan batas yang sampai saat ini masih berjalan.

“Aktifitas kapal VFRS (Vietnam Fisheries Resources Surveillance) dan aktivitas kapal CCG itu melanggar kewajiban internasional dari pemerintah Tiongkok dan Vietnam yaitu due regard of obligation atau kewajiban menghormati hak daulat Indonesia yang ada di area tersebut yakni laut Natuna Utara. Berkenaan dengan Yuan Wang 5 ada 3 hal yang kita soroti. Perlambatan percepatan, berbelok ke kanan menjauh dari sumbu ALKI, dan ketiga berlayar di luar TSS yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia,” lanjutnya.

Hal tersebut dipandang sebagai pelanggaran Pasal 53 ayat (11), Pasal 53 ayat (6) UNCLOS, dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait. Seperti UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan, Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia; serta Keputusan Menteri Perhubungan No.130 Tahun 2020 tentang Penetapan Sistem Rute di Selat Sunda.

Atas problematika itu, IOJI menyajikan sejumlah rekomendasi. Pertama, untuk perairan Natuna Utara yang memang merupakan permasalahan dengan sifat berlapis-lapis dengan dasar utamanya ialah masalah batas yang belum kunjung usai, diperlukan pendekatan yang sifatnya multi-instansi. Utamanya mengenai bagaimana menghadirkan kapal perang dan kapal patrol secara konsisten.

Terkait Yuan Wang 5, IOJI mengharapkan pemerintah Indonesia bisa mengirimkan nota diplomatik protes terhadap pemerintah Tiongkok. Setidaknya isinya menghormati TSS yang sudah Indonesia tetapkan. Mengingat Tiongkok juga telah meratifikasi UNCLOS dan merupakan negara anggota IMO. Terakhir, berkaca pada protesnya pemerintah India terhadap Sri Lanka, Indonesia perlu waspada mengenai peningkatan kapasitas deteksi agar bisa mengetahui kapal canggih yang melintas melakukan sesuatu hal lain yang illegal.

“Di Perpres No.34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025 itu sudah ada sebetulnya 9 aktivitas yang dicantumkan di sana untuk penguatan dalam kapasitas penegakan hukum. Sayangnya 9 aktivitas itu belum menyentuh peningkatan kemampuan deteksi terhadap perlintasan kapal riset canggih. Pertanyaannya sederhana, bagaimana kita tahu kalau kapal riset yang canggih melintas ini tidak melakukan hal-hal lain?”

Dalam kesempatan yang sama, Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Arsyad Abdullah menuturkan dari panglima TNI belum menggelar operasi khusus di Natuna Utara, melainkan yang ada operasi Siaga Tempur Laut di seluruh wilayah kerja Koarmada I yang dikonsentrasikan ke Natuna Utara. Mengingat perairan tersebut merupakan area cukup rawan.

“Unsur-unsur saya, saya tarik semua ke sana. Unsur yang kita gelar di sana KRI ada 4, kemudian ada pesut. Setiap hari kita menggerakkan unsur untuk berpatroli ada 2 unsur, bahkan kadang ada 3. Tidak kita kerahkan semua karena harus bergantian agar tidak terjadi kekosongan di laut. Di tahun 2022 ini hasil tangkapan dari Koarmada I, ada 6 kapal Vietnam yang berhasil kita tangkap dan diproses di Lanal (Pangkalan TNI Angkatan Laut) Ranai,” ungkap Laksda TNI Arsyad Abdullah.

Hukumonline.com

Panglima Komando Armada I Laksamana Muda TNI Arsyad Abdullah.

Direktur Operasi Laut Bakamla RI, Bambang Irawan, mengatakan selama ini pihaknya terus melaksanakan kegiatan seperti sharing informasi. Seperti beberapa waktu lalu, Bakamla sempat melakukan daily brief dengan 50-60 stakeholders yang ada, termasuk dengan IOJI. Informasi yang diterima juga diberikan kepada nelayan di laut Natuna Utara. Ke depan, diharapkan dapat berkembang dengan kawasan laut lain karena ancaman tidak hanya di laut Natuna Utara.

Hukumonline.com

Direktur Operasi Laut Bakamla RI Bambang Irawan.

“Waktu itu kita dapat informasi dari IOJI (terdapat ancaman dari kapal asing), langsung kita sampaikan. Tetapi pada saat kita sampai di sana kapal ini tidak terlihat, mungkin karena jeda waktu yang terlalu panjang. Seperti kita diskusi sebelumnya ini jaraknya cukup jauh dari Natuna ke sini. Tantangannya cukup luar biasa, karena di samping bahan bakar terbatas, kondisi arus kita juga tidak sesuai dengan medan tugas yang ada di sini, butuh effort yang sangat tinggi untuk bisa hadir sampai di sana,” katanya.

Tags:

Berita Terkait