Jalan Tengah Pengaturan Perzinahan dan Kohabitasi dalam RKUHP
Utama

Jalan Tengah Pengaturan Perzinahan dan Kohabitasi dalam RKUHP

Dalam penerapannya di masyarakat perlu melihat penjelasan pasal sebagai filter dan batasan agar tidak terjadi multitafsir oleh aparat penegak hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam sebuah diskusi dalam rangka diseminasi informasi RKUHP, Senin (29/8/2022). Foto: RFQ
Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej dalam sebuah diskusi dalam rangka diseminasi informasi RKUHP, Senin (29/8/2022). Foto: RFQ

Pengaturan pasal tindak pidana terhadap perbuatan perzinahan dan kohabitasi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai kritik dari banyak kalangan. Sebab, pengaturan pasal dua perbuatan tersebut dipandang sebagian kalangan masuk dalam ranah privat. Tapi lain halnya Tim Perumus RKUHP punya pandangan dan alasan tersendiri soal pentingnya pengaturan dua perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej berpandangan dalam pembuatan sebuah aturan di masyarakat yang multi kultur, multi etnis, dan multi religi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi aturan yang dibuat merupakan hukum pidana. Untuk itu, harus disadari pembuatan aturan pidana tak dapat memuaskan semua pihak.

Edward ingat betul pada 2021, Tim Penyusun RKUHP pemerintah melakukan sosialisasi dan dialog publik di 12 kota. Salah satu kota provinsi, masyarakatnya meminta agar pasal yang mengatur perzinahan tak perlu masukan dalam draf RKUHP karena masuk dalam ranah privat. Tapi saat tim melakukan sosialisasi ke salah satu di daerah Sumatera Utara, masyarakatnya meminta agar pasal perzinahan tidak menjadi delik aduan, tapi delik biasa.

“Jadi memang kita mencari jalan tengah,” ujarnya dalam sebuh diskusi dalam rangka dalam rangka diseminasi informasi RKUHP, Senin (29/8/2022).

Baca Juga:

Jalan tengah tersebut, kata pria biasa disapa Prof Edy itu, perbuatan tindak pidana perzinahan tetap menjadi delik aduan. Dengan begitu, tak sembarang orang dapat melapor atau mengadu ke aparat penegak hukum terkait perbuatan perzinahan. Pihak yang dapat membuat aduan antara lain suami, istri, orang tua, atau anaknya sebagaimana diatur dalam Pasal 417 ayat (2) draf RKUHP per 4 Juli 2022.

Pasal 417 draf RKUHP

(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai

Selain itu, kata Prof Edy, pengaturan pasal tentang perzinahan semata-mata dalam rangka melindungi lembaga perkawinan. Sebab, penikahan merupakan perbuatan dengan janji pasangan calon suami istri di depan lembaga perkawinan. “Saya yakin dan percaya, tidak ada satupun agama mengatakan perzinahan itu perbuatan sah menurut agama masing-masing,” kata dia.

Soal kohabitasi atau pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan atau kumpul kebo, tim perumus punya pandangan sendiri. Dia menceritakan, dalam sebuah diskusi informal antara dirinya dengan Menkopolhukam Moh Mahfud MD dan Menkominfo Johnny G Plate ada sebuah pertanyaan menarik dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yakni soal penikahan secara agama alias siri.

Menurutnya, pernikahan secara agama mesti diakomodir dalam RKUHP. Dengan begitu, pernikahan secara agama telah sah ketika hidup dalam satu atap. Pengakuan tersebut perlu diakomodir agar ke depannya tidak menimbulkan multitafsir dan kriminal terhadap pasangan yang telah melakukan pernikahan secara agama.

“Bahwa pernikahan itu secara agama itu dianggap sah secara agama, sehingga tidak bisa dipidana,” ujarnya.

Atas dasar itulah, kata Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) itu, soal pernikahan secara agama tak dapat dipidana perlu dituangkan dalam penjelasan Pasal 418 ayat (1) RKUHP. RKUHP pada Pasal 418 ayat (1) menyebutkan, “Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.

“Kalau perkawinan dilakukan secara agama tanpa ada catatan dari negara, tidak bisa dikualifikasi dalam Pasal 418 kohabitasi. Kita belum masukan (dalam penjelasan, red), tapi itu menjadi catatan penting tersendiri,” ujarnya.

Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Abu Rokhmad berpandangan keberasaan Pasal 417 dan 418 memang dibutuhkan masyarakat dalam penegakan dan menjaga lembaga perkawinan. Selain itu, aturan ini untuk menjaga ajaran agama manapun soal larangan perbuatan perzinahan dan kohabitasi agar tidak kemudian mempertentangkan RKUHP dengan agama.

Dia meminta tim perumus RKUHP dapat merumuskan norma pasal tentang perzinahan dan kohabitasi secara matang. Menurutnya, Pasal 417 tentang perzinahan berbeda konsepnya dengan perzinahan dalam ajaran Islam. Menurutnya, perbuatan perzinahan sebelum atau setelah menikah dengan orang lain yang bukan istrinya masuk dalam kategori perbuatan perzinahan. “Perzinahan ini aturannya penting supaya tidak melanggar norma agama,” tuturnya.

Staf Ahli Menteri Agama Bidang Hukum dan HAM itu melanjutkan pernikahan siri sejatinya tak dapat dipidana saat tinggal dalam satu atap bersama pasangan. Tapi, Prof Abu Rokhmad menyarankan betul agar melakukan pernikahan secara legal agama maupun negara agar tercatat secara administratif di lembaga perkawinan.

“Meski pernikahan siri itu sah secara agama, tapi jangan sampai RKUHP mendorong masyarakat menikah siri, bisa repot kalau sampai begitu. Karena itu perlu dirumuskan secara tepat,” pintanya.

Penjelasan jadi filter

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Univesitas Jember I Gede Widhiana Suarda berpandangan setiap rumusan norma telah dibatasi agar penerapannya oleh aparat penegak hukum tidak menimbulkan multitafsir. Menurutnya, setiap pasal diperlukan penjelasan menjadi langkah awal dan utama. “Supaya KUHP nantinya tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukumnya. Jadi ini filter penting,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat Wakil Dekan I Bidang Akademik FH Universitas Jember itu menilai tim perumus RKUHP pemerintah perlu membuka ruang bila terdapat masyarakat yang tidak sepaham atau keberatan dengan pengaturan pasal-pasal dalam RKUHP agar mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hukum memberikan ruang sebagai hak publik menguji sebuah aturan ke MK sebagaimana diatur konstitusi.

Namun demikian, kata Gede begitu biasa disapa, tidak mengharapkan aparat penegak hukum menerapkan KUHP nasional menjadi alat ‘bermain’ bagi kepentingan tertentu. Akibatnya, malah menjadi pekerjaan rumah baru bagi negara memperbaiki sistem. Padahal RKUHP menjadi bagian dalam memperbaiki sistem hukum pidana.

“Untuk memastikan ini aparat penegak hukum melalui kontrol masing-masing, tentu presiden punya kewenangan dan wajib mengawasi bagaimana aparat penegak hukum menjalankan KUHP ini. Jadi proses pengawasan ini perlu diperhatikan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait