Jaminan Fidusia: Perkembangan dan Masalahnya
Kolom

Jaminan Fidusia: Perkembangan dan Masalahnya

Dua putusan MK terkait UU Jaminan Fidusia telah mengubah UU Jaminan Fidusia secara filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis.

Bacaan 6 Menit
Jaminan Fidusia: Perkembangan dan Masalahnya
Hukumonline

Jaminan fidusia merupakan bentuk jaminan khusus yang lahir setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF). Latar belakang lahirnya UUJF tersebut adalah kondisi setelah krisis ekonomi 1998, pada saat itu dunia usaha membutuhkan lembaga jaminan yang fleksibel bagi debitor namun tetap memberi kepastian hukum bagi kreditor.

J Satrio (2002), menjelaskan makna sifat fleksibel yang terkandung dalam UUJF adalah bagi debitor dan kreditor, bagi debitor sifat fleksibel dalam jaminan fidusia dapat dimaknai sekalipun utang debitor belum lunas namun benda jaminan tetap dapat dikuasai oleh debitor. Sedangkan sifat fleksibel jaminan fidusia bagi kreditor adalah adanya solusi meskipun benda jaminan dikuasai oleh debitor namun jika terjadi gagal bayar maka kreditor tetap dapat melakukan penarikan dan penjualan benda jaminan.

UUJF memberikan jalan tengah berupa parate eksekusi. Syarat keabsahan parate eksekusi obyek jaminan fidusia sebagaimana dijelaskan dalam UUJF yakni jika debitor atau pemberi fidusia melakukan wanprestasi terhadap perjanjian utang–piutang yang telah disepakati antara kreditor dengan debitor, maka pihak kreditor atau penerima fidusia dengan kekuasaannya sendiri dapat melakukan penjualan dan atau melelang terhadap obyek jaminan fidusia tersebut.

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat kalimat irah-irah, di mana Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan sertifikat jaminan fidusia tersebut sebagai dasar bagi kreditor untuk melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia. Dengan kondisi tersebut maka pada tahun 1999 jaminan fidusia dianggap sebagai bentuk pembaharuan hukum jaminan, misalnya jaminan gadai yang dianggap tidak fleksibel karena benda jaminan dikuasai kreditor dan kreditor juga harus menanggung resiko kerusakan barang selama masa gadai.

Lahirnya UUJF di tahun 1999 pada waktu itu diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi tahun 1998 sehingga melahirkan jaminan fidusia dengan pola benda jaminan ada pada debitor sehingga debitor tetap dapat melakukan aktivitas usahanya dengan demikian pembayaran utang pada kreditor diharapkan berjalan lancar sebagaimana disepakati dalam perjanjian pembiayaan. Sebaliknya bagi kreditor pemegang jaminan fidusia jika terjadi gagal bayar maupun cedera janji dapat melakukan eksekusi benda jaminan dengan cara parate eksekusi (tanpa melalui pengadilan).

Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019

Mariam Darus (1999), menguraikan bahwa hukum jaminan tidak terlepas dari hukum perutangan sehingga lahirnya jaminan tidak terlepas dari adanya utang-piutang sehingga benda jaminan adalah sebagai bentuk repayment (pembayaran paksa) dari debitor kepada kreditor. Dari uraian tersebut dapatlah dipahami jika aturan jaminan sangat berkaitan dengan aturan dan implementasi eksekusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 dipandang sebagai tonggak perubahan fundamental lembaga jaminan fidusia itu sendiri. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengubah pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) UUJF. Dalam amar putusannya MK menyatakan:

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
  2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
  4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

Amar ketiga dan keempat Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dianggap mengubah roh dan norma dari lembaga jaminan fidusia itu sendiri. Pasalnya, jika debitor tidak mengakui adanya cedera janji, maka putusan cedera janji tersebut harus dilakukan dengan melalui pengadilan dan dalam kondisi demikian maka sifat parate eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF menjadi tidak berlaku.

Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dipandang bertentangan dengan sifat jaminan fidusia sebagai jaminan khusus sebagaimana dimaksud dalam KUH Perdata. Bahkan putusan MK tersebut dipandang sebagai norma baru yang mengubah jaminan fidusia menjadi jaminan umum dengan mengacu pada amar 3 dan 4 putusan tersebut. Kondisi demikian dipandang bertentangan dengan semangat pembentukan lembaga jaminan fidusia dalam UUJF. Selain itu putusan tersebut justru dipandang sangat merugikan institusi pembiayaan karena dengan posisi yang tidak seimbang maka potensi terjadinya cedera janji dan gagal bayar (non performing loan) akan terbuka lebar.

Dapat dipahami bahwa putusan MK tersebut memberikan privilege bagi konsumen (debitor) dan putusan tersebut sangat mengacu pada mazhab perlindungan konsumen sehingga mengakibatkan kedudukan yang tidak seimbang dan pada akhirnya mengubah norma lembaga jaminan fidusia itu sendiri dari sifat jaminan khusus menjadi sifat jaminan umum demikian pula dengan kekuasaan eksekusi yang melekat pada kreditor dalam hal debitor cedera janji.

Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021

Terhadap ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJF serta Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, pada tahun 2021 kembali diajukan uji materiil ke MK dan MK memutus melalui Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 pada pokoknya sebagai berikut:

“…menurut Mahkamah, Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri” (hal 83 Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021).

Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 selain merupakan penegasan dari Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, juga menimbulkan konsekuensi bahwa mengingat sifat eksekusi jaminan fidusia dinyatakan bersifat alternatif (melalui pengadilan atau tanpa melalui pengadilan) maka artinya sifat jaminan khusus yang terkandung dalam jaminan fidusia akan tidak absolut.

Pengertian tidak absolut dalam hal ini sekalipun terjadi cedera janji namun jika debitor tidak bersepakat terkait terjadinya wanprestasi (cedera janji) maka sifat parate eksekusi yang melekat pada jaminan fidusia tidak dapat dipergunakan. Sebaliknya, kekuatan parate eksekusi jika mengacu pada Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 hanya dapat dipergunakan jika telah terjadi kesepakatan mengenai cedera janji antara debitor dan kreditor.

Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menimbulkan konsekuensi hukum akan meningkatnya perkara cedera janji dan permintaan eksekusi benda jaminan fidusia mengingat umumnya cedera janji sudah terjadi dalam kondisi konflik sehingga jarang dapat dicapai kesepakatan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021. Konsekuensinya adalah parate eksekusi tidak dapat berfungsi optimal untuk melindungi kreditor.

Secara hukum, dalam perspektif keperdataan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menyisakan persoalan, mengingat pada umumnya perjanjian pembiayaan dengan jaminan objek fidusia menggunakan klausula baku yakni pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata (pembatalan perjanjian melalui pengadilan). Jika terdapat klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian pokoknya maka artinya demi hukum pengadilan tidak berwenang mengadili kasus cedera janji dan pengakhiran perjanjian yang berkonsekuensi pada terjadinya eksekusi objek jaminan fidusia.

Secara hukum Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 menyisakan celah hukum terkait dengan penggunaan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Demikian juga Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 secara sosiologis juga berdampak pada konsumen yakni dalam kondisi diperlukan persyaratan akan adanya kesepakatan cedera janji maka penagih utang (debt collector) tentu akan semakin memberi tekanan pada debitor. Sebaliknya, kondisi ini akan menimbulkan persoalan hukum baru yakni persoalan hukum antara debitor dan penagih utang (debt collector).

Dapat dikatakan dalam hal ini Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK Nomor 2/PUU-XIX/2021 telah mengubah UUJF secara filosofis, yuridis (normatif) dan sosiologis.

Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait