Jika Transportasi Berbasis Aplikasi ‘Dilegalkan’, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur
Berita

Jika Transportasi Berbasis Aplikasi ‘Dilegalkan’, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur

Paling tidak ada lima substansi penting, mulai dari perizinan, perlindungan konsumen, hingga isu persaingan usaha.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi di Jakarta. Foto: RES
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi di Jakarta. Foto: RES
Akhir Maret 2016 kemarin, dua perusahaan transportasi berbasis aplikasi, yakni Grab Car dan Uber menegaskan ‘jati diri’ mereka sebagai content provider. Hal itu mereka tegaskan pasca pertemuan dengan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan dan Kementerian Polhukam yang memberikan dua opsi kepada keduanya apakah ingin menjadi content provider atau perusahaan penyelenggara angkutan umum.

Pertemuan itu disebut-disebut terjadi pasca aksi demonstrasi besar-besara yang dilakukan oleh para pengemudi angkutan darat, mulai dari taksi, bajaj, dan moda angkutan umum lainnya. Aksi tersebut sebagai bentuk protes terhadap keberadaan transportasi berbasis aplikasi yang dianggap ilegal. Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Faiz Aziz berpendapat semestinya perusahaan transportasi berbasis aplikasi secara hukum diatur melalui regulasi, bukan sebaliknya dilarang beroperasi di Indonesia.

“Para perusahaan seperti Uber dan Grab Car sudah semestinya diatur melalui regulasi, bukan dilarang,” kata Aziz dalam acara diskusi Bincang Jentera yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera melalui media sosial Twitter @jentera, pertengahan Maret 2015 lalu.

Idealnya, keberadaan mereka mestinya memang diatur dalam ketentuan undang-undang. Artinya, diperlukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, proses yang lama dan panjang dalam melakukan revisi terhadap UU Nomor 22 Tahun 2009 mesti disiasati dengan mengaturnya lewat regulasi yang secara tata urutan perundang-undangan terletak di bawah undang-undang.

Aziz mengusulkan, paling tidak solusi sementara yang bisa dilakukan adalah dengan menghadirkan peraturan di tingkat menteri. Namun, ia mengingatkan bahwa regulator mesti jeli dalam merumuskan aturan tersebut khususnya terkait dengan hal-hal yang mungkin bisa diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya.

“Kehadiran peraturan di tingkat menteri juga bisa menjawab dahaga pengaturan transportasi berbasis aplikasi,” ujarnya.

Dalam diskusi ini, diangkat sejumlah aspek yang paling tidak ketika perusahaan transportasi berbasis aplikasi ini nantinya dibuatkan payung hukum apakah dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya di bawah undang-undang. Pemerintah, DPR, atau stakeholder dapat memiliki gambaran mengenai hal-hal pokok apa yang mesti diatur dalam suatu regulasi. Aziz memberikan pendapatnya berkaitan dengan substansi penting dalam rangka mengatur perusahaan transportasi berbasis aplikasi ini. 

Pertama, pemerintah selaku regulator mesti membuat satu mekanisme izin baru khusus untuk transportasi berbasis aplikasi. Dalam konteks ini, oleh karena transportasi berbasis aplikasi ini melibatkan sejumlah unsur, yang setidak-tidaknya adalah transportasi dan aplikasi internet. Maka, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama-sama dapat menjalin kerja sama pengawasan atas kegiatan atau operasional transportasi berbasis aplikasi tersebut.

“Pemerintah adalah regulator yang menjalankan fungsi-fungsi, seperti pemberian izin, pengawasan, pembinaan, dan penegakan aturan,” ujarnya.

Kedua, pengaturan terhadap perusahaan transportasi berbasis aplikasi. Dikatakan Aziz, setidaknya ada empat hal yang mesti diatur terkait dengan perusahaan tersebut. Mulai berkaitan dengan kewajiban mendirikan badan hukum Indonesia terutama bagi perusahaan asing. Berkaitan dengan kepemilikan saham dimana mesti diatur secara jelas dan tegas porsi kepemilikan antara saham asing dengan saham lokal. Lalu, terkait dengan kewajiban dalam hal pendaftaran dan perolehan izin-izin juga mesti diatur. Serta terkait dengan perlindungan mitra kerja sama, terutama khusus untuk si pengemudi dan juga si konsumen.

Ketiga, pengaturan terhadap mitra penyedia jasa angkutan umum. Terkait hal ini, lanjut Aziz, yang terpenting adalah kerja sama antara perusahaan transportasi berbasis aplikasi dengan penyedia jasa angkutan. Selain itu, juga perlu diatur terkait dengan mitra kerja sama yang meliputi perusahaan angkutan umum dan penyedia jasa angkutan umum individual. Sebab mesti diingat, bahwa penyedia jasa angkutan umum individual tidak dikenal dalam rezim UU Nomor 22 Tahun 2009.

Oleh karenanya, penyedia jasa angkutan umum individual yang belum berbadan hukum disarankan untuk membentuk badan hukum. Bentuk badan hukum yang bisa dipilih, salah satunya yakni koperasi. Dimana hal itu diatur dalam Pasal 139 UU Nomor 22 Tahun 2009 jo. Pasal 79 PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengaturan terkait dengan konsep kemitraan dan soal perlindungan individu ketika terjadi kecelakaan, kejahatan, kerusuhan yang di luar kekuasaan dari mitra.

“Individu mitra yaitu pengemudi itu sendiri yang memanfaatkan aplikasi transportasi dan menggunakan kendaraan untuk mencari penumpang,” tambahnya.

Keempat, pengaturan tentang perlindungan bagi konsumen atau pengguna jasa. Sudah barang tentu ini adalah hal terpenting dari semua pengaturan berkaitan dengan transportasi berbasis aplikasi. UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU Nomor 22 Tahun 2009 mengatur perlindungan bagi masyarakat sebagai penumpang dan sebagai konsumen. Namun, jika ingin diatur lebih lewat pengaturan khusus terkait perlindungan konsumen tranportasi berbasis aplikasi, itu sah-sah saja asalkan dalam regulasi yang relevan.

“Setidaknya dalam hal transaksi, penggunaan jasa, dan penggunaan data pribadi,” tuturnya.

Kelima, pengaturan tentang ekspansi dan strategi bisnis perusahaan transportasi berbasis aplikasi. Isu persaingan usaha bisa saja muncul dalam perjalanan bisnis antara perusahaan transportasi berbasi aplikasi satu dan lainnya. Bahkan, bisa juga persaingan itu antara perusahaan transportasi berbasis aplikasi dengan perusahaan angkuat umum. Dari sisi regulasi, sebetulnya telah ada UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Namun, Aziz menilai dalam konteks yang lebih khusus boleh saja dilakukan pengaturan yang lebih relevan. Misalnya, terkait dengan penetapan harga minimal untuk pemanfaatan transportasi berbasis aplikasi untuk mencegah persaingan usaha yang tidak sehat. Dimana dikenal yang namannya jual rugi (predatory pricing) yang dengan kata lain bertujuan untuk ‘mendepak’ pesaing keluar dari pasar.

** Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara Hukumonline dengan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera.

Tags:

Berita Terkait