Kantor Advokat Indonesia Perlu Adopsi Konsep LLP
Berita

Kantor Advokat Indonesia Perlu Adopsi Konsep LLP

Dengan konsep unlimited liability partnership yang dianut Indonesia saat ini, kerugian akan jadi tanggung jawab sepenuhnya firma, bahkan sampai ke rumah pribadinya.

RIA
Bacaan 2 Menit
Profesi advokat. Foto: RES (Ilustrasi)
Profesi advokat. Foto: RES (Ilustrasi)

Ketua Bidang Kerja Sama Internasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Ricardo Simanjuntak mengatakan bahwa Indonesia perlu mengadopsi aturan pembentukan Limited Liability Partnership (LLP) untuk kantor-kantor advokat yang ada saat ini.

Selama ini, jelas Ricardo mengatakan kantor-kantor advokat Indonesia masih berbentuk firma sehingga tidak berbadan hukum. Implikasnya, tanggung jawab atas firma itu berlanjut hingga ke pribadi masing-masing pendiri. Artinya, konsep yang dianut adalah unlimited liability, yakni tanggung jawab yang tanpa batas kepada para pendirinya. 

“Misalnya, lawfirm mereka menimbulkan kerugian pada orang lain, orang lain bisa menggugat lawfirm itu. Dan masing-masing pribadi pendiri itu, atau firmannya, bertanggungjawab secara pribadi. Sampai ke rumah-rumah pribadinya,” ujar Ricardo.

Ricardo merujuk kepada praktek yang ada di Amerika Serikat. Sejarah mencatat, kantor-kantor advokat di Negeri Paman Sam ini awalnya menggunakan konsep unlimited liability partnership, sama dengan yang ada di Indonesia saat ini. Namun, ketika terjadi krisis ekonomi di AS, para pelaku usaha ramai-ramai menggugat lawfirm sehingga banyak lawfirm di AS yang bangkrut.

“Setelah pengalaman itu, mereka (advokat,-red) pengen lawfirm itu diperbolehkan bentuknya limited liability. Jadi, dia tetap firma, tetapi berbadan hukum dalam bentuk Limited Liability Partnership (LLP),” tutur Ricardo kepada hukumonline, Kamis (9/4).

Tak hanya Amerika Serikat, beberapa negara seperti Inggris dan Singapura juga menganut konsep LLP ini.

Ricardo mengatakan dengan konsep LLP ini, firma-firma hukum itu bisa berekspansi ke luar dengan membuka cabang, karena firman hanya harus bertanggung jawab sebesar modal yang dimasukannya. “Makanya, lawfirm-lawfirm asing itu berani buka cabang di mana-mana di dunia,” imbuh Ricardo.

Lebih lanjut, Ricardo menambahkan di negara-negara yang sudah menggunakan LLP, para firman bisa mengasuransikan firma nya dengan Professional Indemnity Insurance. “Jadi seandainya lawfirm menimbulkan kerugian, kerugian tersebut itu akan di-cover oleh asuransi,” jelasnya lagi.

Ricardo juga menjelaskan bila advokat Indonesia memahami secara betul konsep pertanggungjawaban yang tak terbatas, maka tak ada firma hukum Indonesia yang berani buka cabang ke luar negeri. “Karena kalau cabangnya ngaco, dia bertanggung jawab pribadi,” tukasnya lagi.

Oleh karena itu, Ricardo berharap Indonesia perlu mengadopsi konsep LLP, terutama untuk menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Ia berpendapat konsep ini bisa memberikan peluang besar kepada firma-firma hukum di Indonesia untuk membuka cabang atau melebarkan sayapnya ke luar negeri.

“Pola unlimited liability dalam konteks partnership kita yang sekarang itu harus diubah. Harus masuk kepada limited liability,” tegas Ricardo.

Ricardo mengatakan, “kalau kita bicara tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN, ini menjadi urgent. Karena kita tidak hanya sedang membicarakan lawfirm-lawfirm asing yang akan membuka kantor di Indonesia, tapi kita (advokat,-red) juga sedang berpikir akan membuka lawfirm kita di luar negeri.”

Sebagai informasi, kebanyakan kantor advokat di Indonesia memang berbentuk firma, yang merupakan bukan badan hukum. Sehingga, beban atau tanggung jawab firma itu bisa sampai ke pribadi pendiri firma (firman). Firman tidak bisa melakukan perikatan atas nama firma yang didirikannya, sebab firma bukan lah subjek hukum. Hak dan kewajiban melekat pada firman. Sebagaimana, keuntungan firma berarti keuntungan firman, begitu pula tanggung jawab menjadi tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab firma.

Berbeda dengan Perseroan Terbatas di mana harta PT berbeda dengan harta pemegang saham, harta firma sama dengan berbeda dengan firmannya.

Namun, berdasarkan penelusuran hukumonline, sudah ada kantor advokat Indonesia yang menggunakan konsep LLP ini. Salah satunya adalah Kantor Advokat Irfan Melayu LLP.

Irfan Melayu mengungkapkan meski sudah sejak 2005 menggunakan LLP di belakang namanya, bukan berarti Indonesia sudah mengakui kantor hukum miliknya sebagai badan hukum, sebagaimana aturan di beberapa negara lain. Ia menyampaikan bahwa kantornya tersebut sebetulnya sama saja dengan kantor hukum lainnya.

“Di dalam registrasi kita, kita bilang kita persekutuan perdata. Cuma isi dari persekutuan perdata itu adalah limited liability partnership-nya di luar negeri,” kata Irfan.

Irfan menjelaskan konsep LLP ini disadur dengan cara memasukannya menjadi salah satu konten dalam akta pendirian. Melalui akta pendirian ini secara hukum ditegaskan bahwa firman memiliki tanggung jawab masing-masing.

“Jadi tanggung jawabnya jelas ya. Misalnya terjadi malpraktik, ngga bisa partner yang lain yang bertanggung jawab. Kalau saya malpraktik, ya saya aja yang tanggung jawab. Konsekuensinya ya seorang partner itu dia harus dedicated di satu kerjaan,” tandasnya.

Konsep inilah yang membuatnya “terbang” ke Universitas Leiden, Belanda, untuk mengambil program master pada Hukum Bisnis Internasional. Di samping itu, sebut Irfan, klien asing biasanya akan lebih nyaman dengan konstruksi LLP ini. Pasalnya, mereka tahu siapa yang akan bertanggung jawab terhadap jasa hukum yang mereka dapatkan.

Dengan mengadopsi konsep LLP yang mengatur pembagian tanggung jawab ini pula, menurut Irfan, sangat berguna untuk mereduksi sengketa antara firman. “Kita diatur-atur begitu agar menghindari sengketa di antara para partner. Ya kalau pun bersengketa, ada alat ukurnya lah,” pungkas Irfan.

Tags:

Berita Terkait