Keamanan Hakim untuk Peradilan yang Independen
Kolom

Keamanan Hakim untuk Peradilan yang Independen

Keamanan hakim di Indonesia sangat rentan terhadap ancaman dan bahaya karena harus berpindah-pindah lokasi dinas secara berkala. Ancaman keamanan hakim akan mengganggu pekerjaannya.

Bacaan 6 Menit

Masih banyak lagi ancaman dan bahaya keamanan yang dialami hakim Indonesia selain yang tercatat dalam survei. Kasus yang pernah diliput media adalah terbunuhnya Hakim Agung Syarifuddin Kartasasmita pada tahun 2001 dan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M. Taufiq pada tahun 2015. Begitu juga aksi penyerangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2019. Masih banyak kejadian lain yang tidak disorot liputan media karena tidak patut untuk diberitakan seperti ketika hakim perempuan mendapat ancaman pemerkosaan.

Survei juga menunjukkan lokasi berisiko keamanan terjadi baik di dalam maupun luar lingkungan kantor. Pihak yang menjadi sasaran adalah hakim itu sendiri, keluarganya, dan pegawai pengadilan. Risiko keamanan ini tidak hanya terjadi pada hakim dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat. Risiko ada pada semua perkara yang ditangani. Segala ancaman dan bahaya itu bertujuan memengaruhi putusan hakim. Tentu saja ini mengancam independensi peradilan.

Ancaman dan bahaya keamanan juga berdampak terhadap psikis hakim meski tidak ditujukan langsung pada dirinya. Survei menunjukan 58% ancaman terhadap rekan kerja memengaruhi psikis hakim lainnya. Ada dampak meluas dari ancaman dan bahaya keamanan kepada hakim. Setidaknya 91% responden berpendapat bahwa jaminan keamanan hakim saat ini tidak memadai. Alasan terbanyak menyebutkan belum ada realisasi bentuk keamanan yang jelas. Tidak ada aparat keamanan terlatih yang ditugaskan baik di pengadilan maupun rumah dinas.

Sering kita lihat aparat kepolisian atau militer melakukan pengamanan khusus di pengadilan. Namun, perlu diketahui bahwa ada biaya tambahan yang anggarannya sangat terbatas di setiap pengadilan. Hal ini menyebabkan penyediaan keamanan menjadi sulit ketika anggarannya habis. Itu pun tidak semua penanganan perkara mendapatkan pengamanan yang mumpuni. Pengamanan khusus hanya untuk perkara yang menarik perhatian saja.

Kondisi Ideal

Kondisi ideal bagi jaminan keamanan hakim dapat diketahui dengan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang ada. Perbandingan dilakukan dengan pengalaman Amerika Serikat dan Belanda. Pasal 48 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan bahwa keamanan hakim dijamin oleh negara. Penjelasannya menyebut bahwa hakim diberi penjagaan dalam menghadiri dan memimpin persidangan oleh kepolisian. Hal ini bertujuan agar hakim dapat memutus perkara dengan baik dan benar tanpa ada tekanan. Selanjutnya Pasal 7 PP No.94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas yang Berada di bawah Mahkamah Agung (PP 94/2012) memperluas perlindungan hakim termasuk kepada keluarganya. Pihak yang melakukan pengamanan juga diperluas selain kepolisian juga oleh petugas keamanan lainnya (meski tidak disebut siapa petugas yang dimaksud). Namun, mengenai bagaimana teknis pengamanan yang diberikan tidak diatur lebih lanjut dalam kedua peraturan itu.

Teknis yang lebih lanjut sempat hampir diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung No.5 jo. No.6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan (Perma 5/2020). Namun, isinya memiliki lingkup yang sangat terbatas alih-alih memberikan jaminan keamanan yang menyeluruh kepada hakim. Hal ini setidaknya karena tiga hal.

Pertama, Perma ini tidak mengatur mengenai jaminan keamanan hakim dan keluarganya. Perma ini lebih menekankan kepada protokol keamanan hakim pada saat persidangan. Hal ini terlihat pada Pasal 1 angka 12 Perma 5/2020 menyebutkan bahwa protokol keamanan diberikan oleh Satuan Pengamanan Pengadilan yang dibentuk Pengadilan Sendiri yang pada pelaksanaannya dilakukan oleh pegawai honorer. Kedua, Perma ini menitikberatkan perlindungan hakim hanya pada perkara tertentu saja, terutama terorisme. Hal ini tercermin dalam konsideransnya yang mencantumkan peraturan pemerintah mengenai perlindungan dalam perkara terorisme. Ketiga, Perma ini seperti tidak memiliki daya ikat pada pihak eksternal Mahkamah Agung. Isinya tidak bersifat mengisi kekosongan hukum acara sebagaimana amanat Pasal 79 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Tidak ada kewajiban hukum bagi Polri, TNI atau BNPT untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan Perma ini. Pada akhirnya hingga kini realisasi Perma 5/2020 masih sangat minim.

Tags:

Berita Terkait