Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem
Utama

Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem

Bahkan Singapura mereformasi konsep pembuktian ketidakmampuan pembayaran hutangnya menjadi konsep persangkaan seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jadi tak perlu ikut-ikutan Negara common law lain yang sistem pembuktiannya pun tak cocok dengan Indonesia.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Setelah sebelumnya mengemuka isu perubahan sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan (Pasal 2 ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan PKPU) menjadi insolvency test yang menuai banyak kritik, akhirnya arus pembahasan Revisi UU kepailitan terkait isu pembuktian ini mengarah pada perubahan kewenangan hakim dari ‘harus’ mengabulkan menjadi ‘dapat’ (pasal 8 ayat (4) UU 37/2004) mengabulkan permohonan pailit atau dapat dikatakan perubahan kedudukan hakim pasif menjadi aktif dalam penetapan pailit.

 

Permasalahannya, berdasarkan pasal 8 ayat (4) UU 37/2004 disebut bahwa jika fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana terkait syarat pailit dalam pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 telah terpenuhi, maka hakim ‘harus’ mengabulkan permohonan pernyataan pailit yang ‘harus’ diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

 

Ketentuan ini turut dibahas oleh Tim Naskah Akademik Revisi UU Kepailitan dan PKPU. Poin penting yang dibahas terkait perubahan kata ‘harus’ menjadi ‘dapat’ mengabulkan, sehingga hakim tak lagi dipaksa untuk mengabulkan permohonan pernyataan pailit, melainkan diberi ruang diskresi untuk menguji bukti dari para pihak.

 

Alih-alih menyepakati rumusan perubahan tersebut, pakar kepailitan yang tergabung dalam tim Pakar NA Revisi UU Kepailitan BPHN, Ricardo Simanjuntak, justru menunjukkan bahwa perumus tidak begitu memahami sejarah perubahan beleid pembuktian kepailitan dari Failessement verordening (staatsblad 217/1905 junto 348/1906) yang menggunakan insolvency test hingga menjadi pembuktian sederhana pada pasal 2 ayat (1) UU 37/2004. Bahkan dalam perkembangan penerapannya, kata Ricardo, aturan produk Belanda itu dari 1908 - 1998 telah terbukti tidak efektif dan tidak pernah digunakan.

 

Kalau dalam pasal 1 ayat (1) UU lama itu, kata Ricardo, harus dibuktikan debitur insolven, tapi setelah berubah dalam pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 maka tidak ada lagi kewajiban untuk melakukan insolvency test, melainkan hanya menggunakan persangkaan atas 2 syarat, yakni sepanjang debitur memiliki hutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih dan debitur tersebut juga memiliki lebih dari 1 kreditur maka ia harus dipresumsikan insolven, tak peduli debitur tidak mampu atau tidak mau membayar hutang.

 

“Aturan lama itu tidak efektif, tidak pernah digunakan karena memang impossible to use. Itulah alasannya kita melakukan reformasi, dari anutan berbasis insolvency test yang tak jelas, berubah jadi insolvensi yang dipre-asumsikan (persangkaan),” terang Ricardo.

 

Dalam konteks pembuktian debitur tak mampu bayar yang dinilai dari Persangkaan tidak mampu bayar (presumption unable to pay), maka jelas pengadilan tak bisa meletakkan kebijakan pailit dan tidak pailitnya debitur pada majelis hakim, melainkan terletak pada bukti debitur memiliki 2 kreditur atau lebih dan bukti debitur tidak membayar hutang. Sementara, kata Ricardo, perubahan frasa “harus” menjadi “dapat” ini jelas melahirkan konsekusensi hakim menjadi aktif dalam memutuskan kepantasan seorang debitur untuk pailit atau restrukturisasi.

Tags:

Berita Terkait