Kekerasan Atas Nama Agama Masih Meningkat
Berita

Kekerasan Atas Nama Agama Masih Meningkat

Sejalan dengan keluhan negara-negara yang mereview penegakan HAM di Indonesia dalam forum Universal Periodic Review.

ALI/ANT
Bacaan 2 Menit


Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa menyebut kelompok yang melakukan tindak kekerasan itu sebagai ekestrimis. Artinya, kelompok yang memaksakan interpretasi keagamaan mereka kepada seluruh masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa persoalan kekerasan berbasis agama akan menjadi perhatain serius bagi pemerintah Indonesia.


Selain itu, Marty berjanji kepada masyarakat internasional bahwa pemerintah Indonesia akan berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak kekerasan berbasis agama. Menurutnya, hal itu sebagai ancaman serius bagi demokrasi dan HAM di Indonesia.


Sementara, Presiden World Conference on Regions for Peace (WCRP) KH Hasyim Muzadi justru berpendapat Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim yang memiliki tingkat toleransi yang tinggi. “Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara Muslim mana pun yang setoleran Indonesia,” ujarnya beberapa waktu lalu.


Bahkan, menurut Hasyim, Indonesia juga memiliki toleransi beragama yang lebih baik dibanding sejumlah negara di Eropa. Ia lantas membandingkan dengan Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Begitu juga Prancis yang masih mempersoalkan jilbab.


Karena itu, ia sangat menyayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleransi dalam beragama dalam sidang UPR di Jenewa, Swiss. "Selaku  Pesiden WCRP, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia," kata Hasyim.


Hasyim yang juga Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) itu mempertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang tersebut. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, kata Hasyim, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan "stempel" Islam dan berorientasi politik Barat.


"Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia," katanya.


Kasus GKI Yasmin Bogor, lanjut Hasyim, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia tidak toleran dalam beragama. "Saya berkali kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan daripada masalahnya selesai," katanya.


Lebih lanjut, ia mengatakan sulitnya pendirian tempat ibadah baru juga bukan ukuran bagi toleransi beragama karena persoalannya lebih pada persoalan lingkungan. "Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi," pungkasnya.

Tags: