Kemandirian Terganggu, KPU Gugat UU Pilkada
Berita

Kemandirian Terganggu, KPU Gugat UU Pilkada

Majelis menyarankan frasa konsultasi melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat saja yang seharusnya dibatalkan.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Dia menambahkan keterlibatan DPR dalam konsultasi melalui forum dengar pendapat dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan KPU bersifat wajib. Hal ini berakibat menimbulkan konflik kepentingan yang dapat mengganggu kemandirian/independensi tugas dan fungsi KPU. “Pengalaman KPU berkonsultasi dengan DPR dalam proses penyusunan KPU, mengancam kemandirian KPU,” tegasnya.
Seperti, saat KPU menyusun Peraturan KPU terkait pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berkonsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah. “Kita pernah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah terkait syarat calon tidak pernah sebagai terpidana.”
Alhasil, kata dia, dalam Peraturan KPU dinyatakan setiap terpidana yang tidak menjalani hukum penjara boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang keputusan ini bersifat mengikat yang harus ditindaklanjuti melalui Peraturan KPU. “Jika tidak dilakukan, kita dianggap melanggar UU,” tambahnya.
Menanggapi permohonan, Anwar Usman menyarankan agar petitum permohonan dipisah antara pertentangan dengan UUD 1945 dan pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Ini sebaiknya harus dipisah,” kata Anwar.
Meski begitu, dia tak sependapat apabila Pasal 9 huruf a UU Pilkada dihapus. Sebab, KPU memang diwajibkan bertugas menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis terkait tahapan penyelenggaraan pilkada. “Kenapa inkonstitusional semuanya? Ini seharusnya bisa dipilah, frasa mana yang seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Kan yang bermasalah harus berkonsultasi melalui forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat. Coba petitumnya disusun ulang biar pas,” sarannya.  
Anggota Majelis Panel Aswanto menyarankan agar semua Komisioner KPU menjadi pemohon dalam permohonan ini. “Jadi, tidak hanya Ketua KPU saja, tetapi semua Komisioner KPU, kan keputusan KPU bersifat kolektif kolegial. Ini saja Ketua KPU-nya tidak hadir. Ini agar bisa bahan perbaikan,” kata Aswanto.    
    



Merasa kemandiriannya terganggu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro akhirnya mempersoalkan Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Beleid ini mengatur konsultasi atau rapat dengar pendapat KPU dengan DPR dan Pemerintah saat menyusun Peraturan KPU dan pedoman teknis terkait penyelenggaraan pilkada. Padahal, konstitusi telah menetapkan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri.   
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait