Menyoal Kepastian Hukum Transaksi Aset Kripto
Utama

Menyoal Kepastian Hukum Transaksi Aset Kripto

Popularitas transaksi aset digital kripto terus meningkat di masyarakat. Salah satu aspek yang jadi pembicaraan yaitu mengenai payung hukum kripto di Indonesia. OJK menyatakan pelarangan terhadap transaksi kripto. Sedangkan Bappebti mengizinkan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan pelarangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto. OJK telah meminta kepada industri perbankan agar penggunaan rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan melanggar hukum, termasuk kripto. Hal itu merupakan buntut dari maraknya penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi. 

Di sisi lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti) telah mengizinkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Bappepti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka yang telah mengalami perubahan kedua.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai pernyataan OJK itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah. Pasalnya, kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan. (Baca: Peran e-KYC Antisipasi Penipuan dan Tingkatkan Transapransi Transaksi Digital)

Tidak hanya itu, Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya. 

“Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir,” ungkap Nailul, Rabu (9/2). 

Di lain sisi, dia memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan bahwa aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat karena namanya adalah cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah Rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan. 

“Tapi kan sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi,” jelas Nailul. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait