Kesaksian Jurnalis Myanmar Mengenai Situasi Mencekam Akibat Kudeta Militer
Utama

Kesaksian Jurnalis Myanmar Mengenai Situasi Mencekam Akibat Kudeta Militer

Penegakan hukum terhadap demonstran dilakukan tanpa prosedur yang seharusnya. Win menyatakan masyarakat diadili tanpa persidangan hingga tidak didampingi pengacara.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Jurnalis sekaligus Editor in Chief Myanmar Now, Swe Win, menceritakan kondisi Myanmar terkini dalam acara webinar yang diselenggarakan Hukumonline.
Jurnalis sekaligus Editor in Chief Myanmar Now, Swe Win, menceritakan kondisi Myanmar terkini dalam acara webinar yang diselenggarakan Hukumonline.

Guncangan akibat kudeta militer Myanmar terhadap pemerintahan terpilih menjadi perhatian dunia sejak Februari lalu. Junta militer menggunakan aksi kekerasan terhadap demonstran yang menolak kudeta tersebut. Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) mencatat sampai 8 April setidaknya 614 korban meningga dan 2.857 orang ditahan dalam gelombang protes tersebut.

Kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini berada dalam keadaan mencekam. Jurnalis dan Editor in Chief Myanmar Now, Swe Win, menceritakan tindakan represif aparat militer terhadap masyarakat yang menjadi demonstran. Tidak hanya kekerasan pemukulan melainkan penembakan di tempat tanpa pandang bulu juga dilakukan aparat militer.

“Militer perlahan-lahan menambah partisipasi dalam politik dan kondisi ini berubah pada 1 Februari setelah kudeta kami lihat demonstrasi masal dan direspons militer dengan kekerasan. Lebih dari ratusan orang termasuk anak-anak dibunuh, 3 ribu orang dipenjara,” jelas Swe Win dalam Webinar Hukumonline “Kondisi Terkini Serta Menanti Peran RI dan ASEAN dalam Penyelesaian Krisis Myanmar”, Jumat (9/4).

Penegakan hukum terhadap demonstran juga dilakukan tanpa prosedur yang seharusnya. Win menyatakan masyarakat diadili tanpa persidangan hingga tidak didampingi pengacara. Bahkan, hakim yang memutuskan vonis pada demonstran bukan hakim pengadilan.

“Publik sudah tidak peduli dengan hukum saat ini karena tidak ada lagi ruang bagi hakim. Dalam hal ini militer yang menentukan apa yang terjadi pada tahanan politik ini. Dan akan diputuskan oleh hakim yang mengenakan seragam militer,” jelas Win. (Baca: Melihat Status Kudeta Militer dalam Perspektif Hukum Internasional)

Kekerasan junta militer tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat secara luas. Aktivitas masyarakat hingga bisnis pada pusat kota terhenti. Layanan perbankan hingga akses internet diputus junta militer. Aktivitas pers juga dilarang melalui pencabutan izin atau pembredelan perusahaan media massa.

“Banyak orang hidup dalam ketakutan sehingga harus meninggalkan kota-kota besar menuju desa-desa kecil. Ini situasi yang terjadi sekarang, keseluruhan sektor perbankan collapse, bank sudah tutup selama lebih dari satu bulan. Masyarakat tidak bisa gunakan internet, rezim militer mulai blokir sosial media, twtter hingga semua jenis jaringan internet. Layanan internet hanya bisa diakses lewat broadband, layanan internal. Orang-orang hidup dalam keadaan sangat ketakutan. Tapi kami lihat demonstrasi penembakan setiap hari. Tidak ada hari yang berlalu tanpa penembakan,” jelasnya.

Win menjelaskan demonstran penolak junta militer terdiri dari beragam kelompok usia. Bagi demonstran kelompok usia 20-30 tahun, Win mengatakan pengunjuk rasa merasa kebebasan mereka terhalang karena junta militer yang memutus semua akses jaringan internet. Dia menilai demonstran usia muda tersebut mengalami blackout informasi yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.

“Ini adalah generasi yang tidak pernah alami ini sebelumnya, kalau kita lihat kelompok umur yang banyak hadir antara 20-30 tahun ini generasi belum pernah alami pemerintahan militer mereka tidak pernah alami blackout informasi ini adalah generasi internet generasi milineal yang bisa hidup tanpa makan tapi tidak bisa hidup tanpa internet, ini adalah hak dasar mereka hak yang harus ada dalam hidup mereka,” jelas Win.

Kelompok demonstran lain berusia di atas 30 tahun yang tidak menginginkan junta militer kembali berkuasa pada pemerintahan Myanmar. Win menjelaskan junta militer akan bertindak represif terhadap masyarakat dan membuat aturan-aturan yang mengekang kebebasan masyarakat.

“Kami tidak mau kembali ke hukum militer itu. Pemerintahan militer itu membuat ketakutan masyarakat. Mereka membuat Undang Undang yang mewajibkan tamu menginap di rumah seseorang harus lapor ke pemerintah setempat jika tidak patuh terhadap hukum ini dipenjara 30 hari,” jelas Win.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan aparat militer Myanmar secara sistematis menggunakan taktik dan senjata yang biasanya digunakan di medan perang untuk melawan pengunjuk rasa damai dan orang-orang di jalanan. Kondisi ini bermula saat militer Myanmar melakukan kudeta dan mendeklarasikan state of emergency selama satu tahun pada 1 Februari setelah menuduh terjadinya kecurangan pada pemilu di bulan November 2020.

Junta militer Myanmar saat ini berada dalam ancama dari berbagai kelompok etnis bersenjata, termasuk Arakan Army yang mengancam Tatmadaw bahwa mereka akan ikut serta dalam “spring revolution” jika militer tidak menghentikan kekerasan dan mengembalikan demokrasi. Beberapa kelompok bersenjata termasuk Karen National Union dan Kachin Independence Army, telah melakukan serangan terhadap pihak militer dan kepolisian. Sebagai balasan, militer meluncurkan airstrikes menargetkan kelompok etnis Karen di perbatasan Myanmar-Thailand

Usman menyampaikan jika situasi terus memburuk maka dikhawatirkan konflik akan bereskalasi menjadi civil war dan Myanmar beresiko menjadi negara gagal atau “failed state”.

Dia mendesak komunitas internasional harus segera mengambil tindakan untuk menghentikan pembunuhan besar-besaran di Myanmar. Kemudian, Dewan Keamanan PBB juga diminta segera mengambil tindakan lama yang tertunda dan diperlukan untuk menghentikan pelanggaran dan meminta pertanggungjawaban pelaku, dan segera merujuk situasi tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional.

Dewan Keamanan PBB juga harus memberlakukan embargo senjata global yang komprehensif dan sanksi keuangan yang ditargetkan pada pejabat militer senior yang bertanggung jawab atas kejahatan kekejaman. Lalu, mendesak perusahaan-perusahaan yang menjalin hubungan bisnis dengan konglomerat bisnis terkait militer di Myanmar untuk segera mengakhiri semua kemitraan.

Sementara itu, Indonesia juga dapat berperan dalam solusi penyelesaian konflik Myanmar tersebut melalui diplomasi dan mendorong negara anggota ASEAN untuk bersatu dalam mendesak Tatmadaw mengakhiri pelanggaran HAM dan berdialog untuk menyelesaikan konflik di Myanmar. Sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia menyerukan kepada DK PBB untuk melakukan embargo senjata dan menjatuhkan targeted sanctions terhadap anggota militer Myanmar yang melakukan kejahatan kemanusiaan.

Bagi negara-negara kawasan, ASEAN dapat mengirim utusan khusus ke Myanmar untuk berdiskusi dengan semua pihak guna memfasilitasi dialog dan memastikan solusi yang sesuai dengan suara rakyat Myanmar. ASEAN dapat mendesak DK PBB untuk mengirim utusan ke Myanmar guna memberikan tekanan terkait kekhawatiran komunitas internasional atas krisis kemanusiaan dan keamanan. Lalu, ASEAN harus memastikan akses masyarakat Myanmar terhadap humanitarian assistance dan memfasilitasi orang-orang yang kabur dari konflik di Myanmar sesuai dengan standar HAM internasional dan prinsip non-refoulement.

Konflik Myanmar Mendapat Simpati Negara Dunia

Chief Content Officer Hukum Online, Amrie Hakim menyampaikan yang menjadi korban dalam konflik Myanmar bukan saja masyarakat sipil, melainkan insan pers. Sejumlah jurnalis, baik lokal maupun luar negeri turut diamankan sehingga melanggar kebebasan pers. Dia menyampaikan sebagai komunitas hukum terbesar di Indonesia, Hukum Online mendukung independensi jurnalisme, kebebasan pers dalam menyampaikan berita yang berimbang bagi penggiat pers di seluruh dunia termasuk Myanmar.

Webinar Hukumonline “Kondisi Terkini Serta Menanti Peran RI dan ASEAN dalam Penyelesaian Krisis Myanmar juga dihadiri Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani dan Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani. Masing-masing kedua pembicara tersebut menyampaikan mengenai sikap pemerintah dan parlemen terhadap konflik Myanmar serta aspek hukum dari kerangka multilateral dan regional ASEAN.

Tags:

Berita Terkait