Ketentuan Konten 'Negatif' dalam Permenkominfo 5/2020 Dinilai Ambigu
Berita

Ketentuan Konten 'Negatif' dalam Permenkominfo 5/2020 Dinilai Ambigu

Dibutuhkan definisi yang jelas mengenai apa yang disebut sebagai ‘konten negatif’ atau konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Namun, lanjut Pingkan, definisi konten yang dilarang telah mengalami beberapa kali perubahan dari peraturan-peraturan sebelumnya seperti Permenkominfo Nomor 19 tahun 201 terkait Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk UGC.

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 kemudian mencabut Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014. Akibatnya, istilah “konten negatif” tidak lagi digunakan, dan meskipun sudah ada upaya untuk memperjelas definisi konten yang dilarang, tetap masih terdapat ambiguitas.  

CIPS merekomendasikan pemerintah untuk menggunakan pendekatan ko-regulasi atau pengaturan bersama UGC dengan pihak swasta. Dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab akan membantu proses hukum menjadi lebih relevan dan terus berkembang seiring cepatnya perkembangan lanskap digital yang sangat dinamis.

Pengaturan bersama, yaitu pendekatan regulasi yang berfokus pada dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah secara luas, harus dipertimbangkan dalam formulasi regulasi karena cara ini dapat meningkatkan efektivitas pencegahan konten yang dilarang. 

Fokus Tangani Isu Konten Negatif

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Mira Tayyiba menyatakan salah satu fokus tugas Kominfo yaitu menciptakan ruang digital yang bersih, sehat.  Kemudian, melakukan pelindungan data pribadi, kebijakan arus lintas data atau cross-border data flow.

“Pertama, penciptaan kedaulatan dan kemandirian digital. Kedua, penciptaan ruang digital yang bersih, sehat, dan beretika. Ketiga, penciptaan fair playing field. Di sektor penciptaan kedaulatan dan kemandirian digital, Kominfo tentunya fokus di infrastruktur digital. Bagaimana kita memperkuat dan juga mendorong pemerataannya.  Kemudian, melakukan pelindungan data pribadi, kebijakan cross-border data flow, dan sebagainya,” paparnya seperti dikutip dari siaran pers Kominfo, Senin (5/4) lalu.

Selanjutnya, mengenai isu penciptaan ruang digital yang bersih, menurut Sekjen Kementerian Kominfo kini tengah disusun pedoman implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Kita juga meningkatkan literasi digital bukan hanya mampu menggunakan digital, tapi juga kita menekankan kepada etika culture safety dari penggunaan digital,” jelasnya.

Guna menangkal kabar bohong yang beredar di ruang digital, Sekjen Mira menyatakan Kementerian Kominfo melakukan pengendalian konten negatif dengan memberi stempel hoaks dan disinformasi terhadap isu-isu yang menyesatkan. 

“Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat tercerdaskan dalam memilah dan memilih berita yang beredar. Sebagai informasi saja, selama pandemi Covid-19 ini sudah sangat banyak hoaks yang atau berita palsu yang kami beri label hoaks atau disinformasi sehingga tidak menyesatkan,” tegasnya.

Mira menjelaskan dalam pemanfaatan dan pelindungan data, Kementerian Kominfo sudah menyusun instrumen mulai dari Undang-Undang ITE, Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik melalui PP 71 tahun 2019, serta Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 mengenai PSE lingkup privat.

Tags:

Berita Terkait