Ketika Hakim Membuat Interpretasi
Fokus

Ketika Hakim Membuat Interpretasi

Tidak ada petunjuk tentang metode mana yang harus digunakan dalam kasus konkrit.

MYS
Bacaan 2 Menit

“Interpretasi ekstensif paling banyak mendorong perkembangan ilmu hukum,” kata Sidharta, salah seorang pendiri Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, dalam sebuah diskusi yang diselengggarakan LeIP dan Forum Diskusi Hakim Indonesia, di Jakarta, Sabtu (06/10). Selain ekstensif, interpretasi bisa bersifat restriktif (menyempitkan makna).

Putusan hakim berupa interpretasi ekstensif yang sangat terkenal adalah yurisprudensi pencurian listrik. Contoh lain adalah perluasan makna ‘menjual’ dalam Pasal 1576 KUH Perdata. Tafsir luas lema ‘menjual’ sudah dibuat Hoge Raad (HR) sejak 1906, tak hanya mencakup jual beli, tetapi juga peralihan atau pengasingan.

Ada banyak metode interpretasi yang dikenal, masing-masing saling melengkapi. Misalnya, interpretasi gramatikal, teleologis atau sosiologis, sistematis, historis, futuristik, dan komparatif. Menurut Sidharta, tiap metode punya ciri-ciri sendiri sehingga tidak ada petunjuk tentang metode mana yang sesungguhnya harus digunakan dalam sebuah kasus konkrit. Meskipun demikian, dalam konteks hukum perjanjian, Pasal 1342-1351 KUH Perdata sudah mengatur urutan-urutan penafsiran yang harus dilalui. Pasal 1343 misalnya menyebutkan jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, ia harus memilih menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian daripada memegang teguh arti kata-kata itu menurut huruf.

Interpretasi gramatikal dapat dilihat pada putusan MA No. 11K/Kr/1955. Dalam kasus surat perintah pengosongan rumah, Mahkamah Agung menyalahkan hakim judex facti yang hanya menafsirkan kata ‘didiami’ dalam Pasal 7 ayat (1) Noodverordening regeling gebruik bepaalde woningen en andere gebouwen stad Bandung, sebagaimana arti gramatikalnya. Kata ‘didiami’ harus ditafsirkan meliputi dipakai.

Seorang hakim juga bisa terjebak ketika menafsirkan suatu kata sesuai makna sosiologisnya atau konteksnya. Jika terlalu kaku menafsirkan istilah senjata tajam, maka akan banyak petani yang terkena Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951. Apalagi di beberapa daerah, seperti di Sampang, ada kebiasaan masyarakat membawa senjata. Putusan Mahkamah Agung No. 103 K/Kr/1975 tegas-tegas menyatakan bahwa arit, parang, dan cangkul adalah alat pekerjaan sehari-hari bagi petani. Sehingga alat-alat tersebut bagi seorang petani tidak dapat ditafsirkan sebagai senjata tajam seperti dimaksud Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tersebut.

Jika kesulitan memahami arti suatu rumusan Undang-Undang, hakim sebenarnya bisa mengandalkan maksud pembentuk Undang-Undang sebagaimana tertuang dalam memorie van toelichting. Notulensi proses pembahasan biasanya menggambarkan suasana kebatinan dan maksud para pembentuk Undang-Undang. Interpretasi historis ini bisa digunakan jika proses pembahasan suatu RUU di DPR terdokumentasi dengan baik.

Penafsiran membatasi

Jika penafsiran ekstensif cenderung mendorong perkembangan ilmu hukum, penafsiran restriktif justru bisa sebaliknya. Interpretasi restriktif, menurut Sudikno dan Pitlo, adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Ruang lingkup ketentuan suatu undang-undang dibatasi.

Salah satu yang bisa dijadikan contoh dan isunya masih hangat adalah pembatasan makna hakim dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU Komisi Yudisial). Putusan Mahkamah Konstitusi No. 05/PUU-IV/2006 telah memaknai kata ‘hakim’ dalam UU Komisi Yudisial tidak meliputi hakim konstitusi. Untuk sampai pada kesimpulan itu, Mahkamah Konstitusi secara tegas menyebut menggunakan metode interpretasi sistematis dan historis, yakni berdasarkan original intent perumusan ketentuan UUD 1945. Dengan putusan itu, Komisi Yudisial tak punya kewenangan mengawasi hakim konstitusi.

Kini, ketika kasus eks Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar mencuat, sejumlah kalangan menilai kembali secara kritis putusan Mahkamah tersebut. Bagaimanapun, tanpa ada yang mengawasi, hakim-hakim Mahkamah Konstitusi akan merasa bebas melakukan apa saja. Padahal dengan kekuasaan yang begitu besar, potensi penyimpangan juga ada. Kasus Akil sudah memperlihatkan indikasinya.

Tags:

Berita Terkait