Ketua DPR: BPJS Kesehatan Harus Tingkatkan Kualitas Layanan
Terbaru

Ketua DPR: BPJS Kesehatan Harus Tingkatkan Kualitas Layanan

Inpres 1/2022 dinilai tidak memiliki urgensi untuk diterapkan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Anggota Komisi IX DPR Yahya Zaini menilai Inpres 1/2022 tidaklah relevan dijadikan berbagai persyaratan bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan publik. Termasuk syarat untuk keberangkatan haji dan umrah. Dia menilai banyak pelayanan publik yang semestinya tidak menjadikan kepesertaan BPJS menjadi syarat wajib. Seperti masyarakat kelas menengah ke atas umumnya tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan karena menjadi peserta asuransi swasta.

“Masa mau beli tanah harus mendaftar BPJS dulu, padahal BPJS enggak dipakai. Jadi menurut saya tidak relevan,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu memaklumi tujuan terbitnya Inpres 1/2022 dalam upaya menjangkau/memperluas kepesertaan JKN di semua kalangan yang saat ini kepesertaan BPJS Kesehatan baru mencapai 86 persen. Sedangkan target hingga 2024 mencapai 98 persen. Semestinya, kata yahya, pemerintah memiliki terobosan sistematis ketimbang menjadi BPJS Kesehatan menjadi syarat bagi masyarakat mendapatkan layanan publik. Seperti terobosan meningkatkan peserta bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri.

“Kemudian meningkatkan peserta dari penerima bantuan iuran (PBI). PBI masih banyak orang tidak mampu belum terjangkau seluruhnya di lapangan.”

Terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan B Najamudin menilai Inpres 1/2022 tidak memiliki urgensi untuk diterapkan dalam aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat. Sultan mengakui BPJS telah terbukti menjadi instrumen asuransi kesehatan yang berdampak signifikan secara luas. Namun, masih terdapat banyak hal yang harus dievaluasi.

"Tapi, tidak perlu rasanya memaksakan kehendak pemerintah kepada masyarakat dengan cara-cara yang tidak rasional. Tidak ada urgensinya,” kata dia.

Lebih lanjut, senator asal Bengkulu itu mengingatkan aturan wajib BPJS Kesehatan ini berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya, menjadikan urusan birokrasi menjadi semakin rumit. Hal ini malah kontraproduktif dengan semangat debirokratisasi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Entah apa motifnya, sebaiknya pemerintah tidak menghambat proses pelayanan publik dengan modus wajib BPJS ini,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Inpres 1/2020 yang mewajibkan warga yang ingin mendapatkan layanan administrasi publik menjadi pesertaan BPJS Kesehatan. Seperti mendapatkan layanan membuat Surat Izin Mengemudi (SIM), STNK, melaksanakan ibadah haji atau umrah, bahkan jual beli tanah.

Tags:

Berita Terkait