​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi
Tokoh Hukum 2018:

​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi

​​​​​​​Ketiganya memiliki cara berjuang yang berbeda-beda, sesuai dengan kewenangan dan profesi mereka, terus konsisten meski hambatan yang dihadapi tak mudah.

ABE/HMQ/NEE
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Isu korupsi terus menghiasi tahun 2018. Mulai dari tangkap tangan hingga pengungkapan kasus yang dinilai merugikan negara dengan jumlah besar. Sepanjang 2018, Hukumonline melihat ada tiga tokoh hukum pejuang antikorupsi yang konsisten memperjuangkan yang diyakininya. Ketiganya adalah Novel Baswedan, Artidjo Alkostar dan Trimoelja D Soerjadi.

 

Perjuangan terus dilakukan meski tantangan dan hambatan yang menerjang terus mengulang. Walaupun harus kehilangan penglihatan, kehilangan harta hingga diserang secara psikis, mereka terus konsisten untuk berjuang. Ketiganya memiliki cara berjuang yang berbeda-beda sesuai porsi dan wewenangnya. Ada sebagai penyidik, advokat hingga wakil tuhan di dunia. Nama ketiga tokoh ini menghiasi pemberitaan Hukumonline sepanjang 2018.

 

Perjuangan masih panjang. Di antara ketiganya ada yang purna jabatan hingga telah dipanggil sang Tuhan di tahun ini. Ada pula tokoh yang masih berjuang dengan dukungan banyak orang di sekitarnya. Tentu tak mudah bagi para pejuang ini untuk konsisten memberantas korupsi di bumi pertiwi.

 

Konsistensi dan keberanian mereka patut dicontoh banyak pihak. Perjuangan ketiganya memberikan efek positif bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Bahkan, sejumlah masyarakat berharap agar perjuangan ini dapat menular kepada para penerus bangsa. Hingga para akhirnya, pemberantasan korupsi terus tegak berdiri. Berikut tiga tokoh hukum para pejuang antikorupsi 2018:

 

  1. Novel Baswedan

Siapa tak kenal Novel Baswedan? Penyidik senior pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini diketahui disegani dan ditakuti para koruptor. Ia merupakan salah satu sosok terdepan dalam penanganan perkara korupsi di KPK terutama dalam proses penyidikan kasus-kasus besar dan menarik perhatian publik.

 

Sebut saja, kasus mega korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah menyeret sejumlah nama besar, seperti mantan Ketua DPR Setya Novanto, mantan anggota DPR lain. Selain itu, kasus korupsi Simulator SIM yang menyeret Kepala Korlantas Polri ketika itu dijabat Djoko Susilo, kasus suap penanganan sengketa pilkada yang menyeret nama Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar.

 

Alghiffari Aqsa, mantan Direktur LBH Jakarta sekaligus kuasa hukum Novel Baswedan menilai sosok Novel sangat konsisten dalam upaya pemberantasan perkara korupsi. Ia melewati segala macam risiko, mulai dari ancaman, kriminalisasi, pembunuhan karakter, sanksi internal, hingga beberapa kali kekerasan terhadap fisik yang hampir merenggut nyawanya.

 

“Setelah penyiraman air keras dan pengobatan di Singapura tidak sedikitpun ada yang berubah (dari dirinya). Bahkan saya melihat Novel jauh lebih berani dari sebelumnya,” ujar Alghiffari kepada Hukumonline, Rabu (18/12).

 

Hukumonline.com

Novel Baswedan sesaat setelah diserang oleh orang tak dikenal. Foto: RES

 

Menurutnya, peran Novel tidak hanya signifikan dalam penuntasan kasus-kasus korupsi, tapi juga signifikan dalam mempertahankan integritas dan independensi KPK. “(Maka) tidak heran ia dituduh sebagai pengacau dan (dianggap) jadi komisioner ke-6 karena kerap bersuara jika ada kebijakan KPK yang keliru,” tuturnya.

 

Sebagai salah satu garda terdepan pemberantasan korupsi, pekerjaan yang dilakukan Novel memang sangat berisiko. Ketika ia sedang menangani kasus e-KTP pada 2015 lalu di Lombok, mobil Novel mengalami kecelakaan, tetapi informasi yang diperoleh Hukumonline, kecelakaan itu memang direncanakan oknum tertentu.

 

Saat menangani kasus Simulator SIM, Novel sempat ditangkap pihak Kepolisian karena kasus penganiayaan terhadap pencurian sarang burung walet ketika ia masih berdinas di Polda Bengkulu. Publik pun bereaksi, sejumlah aktivis antikorupsi dan KPK memprotes keras penangkapan ini. Alhasil, perkara ini tertunda setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. 

 

Penangkapan terhadap Novel kembali terjadi pada 2015 lalu, tak lama setelah KPK menetapkan Komjen (Pol) Budi Gunawan - yang ketika itu merupakan calon Kapolri - sebagai tersangka. Kasusnya pun sama terkait dengan burung walet. Kemudian, Presiden Jokowi memerintahkan agar Novel tidak ditahan dan penanganan kasusnya harus transparan.

 

Seperti penangkapan pertama, publik juga bereaksi atas penangkapan ini. Mereka menganggap penangkapan Novel sebagai upaya kriminalisasi. Sebab, tak hanya Novel, dua Pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto juga pernah mengalami nasib serupa dan kedua orang itu akhirnya nonaktif.

 

Bahkan, mantan dua pimpinan KPK lainnya Johan Budi dan Indriyanto Seno Adji pun mengancam mundur jika Novel tidak dilepaskan. Novel bisa bernafas lega setelah Kejaksaan Agung pada 22 Februari 2016 memutuskan menghentikan penuntutan kasus dugaan penganiayaan tersebut.

 

Jalan terjal bagi Novel belum berhenti. Puncaknya pada 11 April 2017, ayah 4 anak ini disiram air keras seusai sholat shubuh di dekat kediamannya. Novel pun mengalami luka serius di wajah dan kelopak mata kiri. Ia pun harus menjalani operasi pencangkokan mata di Singapura.

 

Peristiwa ini berulang kali mengundang reaksi publik yang mendesak Kepolisian untuk menuntaskan kasus penyerangan terhadap Novel ini. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Bahkan dari tahun ke tahun kasus ini masih belum ada titik terang/temu.

 

Komnas HAM pun membentuk tim khusus untuk mengungkap kasus ini. Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), namun upaya itu belum juga dilakukan pemerintah. Bahkan, hingga sudah lebih dari 600 hari, Novel Baswedan masih menunggu keadilan terhadap penuntasan kasusnya.

 

Saat ditemui Hukumonline di kantor KPK, Novel menganggap penyerangan terhadap dirinya tidak bisa dipisahkan dengan penyerangan terhadap KPK. Sebab, selama ini ternyata bukan hanya Novel yang menjadi korban, ada beberapa pegawai lain yang juga mengalami nasib serupa.

 

Ia mencontohkan ada pegawai KPK yang diculik saat sedang melaksanakan tugas. Sayangnya, hal ini menurut Novel luput dari pemberitaan media. Penyerangan-penyerangan seperti ini menurutnya tidak bisa dibiarkan karena bisa mengganggu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Salah satunya, akan timbul perasaan takut dari pegawai KPK untuk mengungkap suatu kasus jika penyerangan terus dibiarkan.

 

“Harapan saya ini semua diungkap, sangat berbahaya serangan kepada aparat yang bekerja berantas korupsi dibiarkan tidak diungkap. Efeknya, khawatir ke depan orang yang melawan korupsi jatuh nyalinya, turun semangatnya, khawatir orang yang menyerang semakin berani karena dia bisa untuk dilindungi dan bisa tidak diungkap, sehingga tidak terlihat siapa pelakunya. Hal itu ancaman terbesar bagi pemberantasan korupsi,” ujar Novel saat berbincang dengan Hukumonline, Selasa (17/12/2018).

 

Bagi Novel, KPK tidak bisa sendirian memberantas korupsi, butuh dukungan kuat terutama pemerintah jika korupsi ingin diberangus dari bumi Indonesia. “Pemberantasan korupsi akan efektif apabila pemerintah mau mendukung dan tidak membiarkan KPK berjalan sendiri.. Tetapi kalau tidak diberikan dukungan kuat itu menjadi berat karena bisa saja ada resistansi. Saya harap ke depan KPK bisa lebih independen dan didukung pemerintah.”

 

  1. Artidjo Alkostar

Nama yang satu ini mungkin akan selalu diingat oleh para terpidana kasus korupsi. Ya, siapa yang tak mengenal Artidjo Alkostar, sosok hakim agung dengan putusan-putusan ‘sangarnya’ dalam mengadili para koruptor? Selama 18 tahun bertugas sebagai hakim agung, fakta berbicara bahwa di tangan Artidjo Alkostar, hukuman seorang terdakwa bisa melejit naik atau dari bebas bisa menjadi dihukum. ‘Sakitnya’ ketukan palu Artidjo, dirasa wajar membuat terdakwa untuk berpikir ulang mengajukan Kasasi di Mahkamah Agung (MA).

 

Setidaknya, beberapa terdakwa yang pernah merasakan ‘sakitnya’ palu Artidjo adalah mantan Menteri ESDM Jero Wacik. Berharap hukumannya mendapat keringanan, Artidjo justru memperberat masa hukuman Jero sampai 2 kali lipat, dari sebelumnya 4 tahun penjara menjadi 8 tahun.

 

Hal yang sama dialami mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfi Hassan Ishaq, yang hukumannya diperberat dari 16 tahun menjadi 18 tahun, bahkan ditambah sanksi pencabutan hak politik. Kemudian mantan Wakil Sekjen Partai Demokrat Angelina Sondakh, dari vonis 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum divonis 14 tahun dari sebelumnya 8 tahun. Paling mencolok adalah Akil Mochtar, mantan Ketua MK dijatuhi Artidjo vonis seumur hidup. (Baca Juga: MA Perberat Vonis Irman-Sugiharto Jadi 15 Tahun Bui)

 

Sebagai ‘penjaga gawang terakhir’ pemberantasan tindak pidana korupsi, Artidjo dikenal tegas. Dia memegang teguh prinsip suatu aturan yang tidak berasaskan keadilan akan memperpanjang barisan korban ketidakadilan, begitupula halnya dengan suatu putusan. Hanya saja di mata Artidjo, sekalipun putusan pengadilan tidak akan pernah menjawab makna keadilan yang begitu luas, setidaknya ia berharap suatu putusan dapat berkontribusi agar roh dari suatu Undang-undang bisa tercapai.

 

Roh dari UU Anti Korupsi, sejatinya merupakan penegasan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merampas hak-hak dasar rakyat dan merugikan keuangan negara, sehingga melalui UU tersebut diharapkan dapat sebanyak-banyaknya mengembalikan keuangan negara sekaligus memulihkan hak-hak dasar rakyat yang tercederai.

 

Hukumonline.com

Artidjo Alkostar di halaman gedung MA, sebelum pensiun. Foto: RES

 

Adapun putusan Artidjo soal pencabutan hak politik terpidana korupsi yang pernah ia jatuhkan, didasari lantaran agar masyarakat di kemudian hari tidak mudah terkecoh, ‘mana orang yang layak dipilih dan mana yang tidak layak’. Sekalipun ada beberapa kritikan yang muncul ketika itu.

 

Artidjo tetap mantap dengan keyakinan yang dipegang teguhnya. Sekadar catatan dari Artidjo, seorang tetangga dari Hakim Agung Ad Hoc Tipikor, MS. Lumme di Papua, melakukan Korupsi dengan vonis 4 tahun, tapi tak ada perintah ditahan. Singkat cerita, tetangga MS Lumme itu pindah ke kampungnya, mencalonkan diri dan akhirnya terpilih kembali.

 

“Artinya, saya menerapkan hukum pidana antikorupsi ini dengan sangat ketat, tidak ada celah untuk negosiasi. Kalau di Majelis saya mesti perintahkan untuk segera ditahan. Supaya ini tidak menjadi bahan perdebatan di Jaksa, ini mau ditahan apa tidak?” kata Artidjo.

 

Modus-modus yang kerap digunakan pejabat pun seringkali berhasil ditangkis Artidjo, di antaranya alasan bahwa Pasal 2 UU Tipikor dianggap tidak bisa dikenakan terhadap pejabat, sehingga unsur setiap orang itu diusahakan untuk dialihkan ke Pasal 3 yang mengakibatkan hukumannya dapat beralih menjadi 1 tahun.

 

Di Kamar Pidana MA, ada kesepakatan bahwa jika nilai korupsinya diatas Rp100 juta, maka otomatis dikatakan memperkaya diri, sehingga sekalipun judex factie menerapkan Pasal 3 dengan hukuman 1 tahun penjara, maka ketika masuk ke MA mesti diterapkan Pasal 2. (Baca Juga: Artidjo Alkostar: Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Diperketat)

 

Begitu ringannya ‘tangan Artidjo’ dalam memperberat vonis-vonis terdakwa korupsi bukan berarti semua itu dilakukannya dengan mulus, bahkan bisa dikatakan Artidjo sudah ‘kenyang’ dengan teror, ancaman hingga ‘santet’ yang kerap kali dialamatkan kepadanya. Hebatnya, ia tetap teguh pada keyakinan yang ia genggam. Selain karena mantan ‘orang LBH’, darah Madura yang mengalir deras ditubuhnya itulah yang diyakini Artidjo berhasil membentuk karakternya yang tegas, jujur, berani dan tak kenal kompromi.

 

Di masa-masa awal Artidjo menjabat sebagai Hakim Agung-pun, tak terbendung banyaknya tamu berdatangan menawarkan uang serta beragam tawaran menggoda lainnya. ‘Saking geramnya’ Artidjo dengan para tamu tak diundang itu sempat membuat dirinya menempelkan sebuah tulisan tepat di pintu ruang kerjanya yang berbunyi ‘Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara’.

 

Di mata Artidjo, orang tidak dihormati karena pakaiannya atau hartanya, sebaliknya kehormatanlah yang harus menjadi pakaian. Karena dalam dirinya tidak ada beban, Artidjo bisa berdiri dengan mata tegak. "Keluar dari MA meski jalan kaki, tetapi dengan tegak," ujarnya mantap. Alhasil, Artidjo bisa menikmati perannya sebagai hakim agung dengan kesederhanaan dan kejujuran.

 

Puncaknya, berita pensiunnya Artidjo pada 1 Juni lalu, seperti membawa ‘angin segar’ bagi banyak terdakwa korupsi. Sontak pasca pensiunnya mantan Hakim Agung sang punggawa keadilan ini pada 1 Juni 2018 lalu, para terdakwa koruptor langsung beramai-ramai mengajukan upaya hukum PK.

 

Ketua MA M. Hatta Ali dalam buku biografi berjudul Artidjo Alkostar: Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan misalnya, mengaku kenal Artidjo sejak tahun 2005 yang merupakan seniornya di MA. Hatta menilai Artidjo sosok yang sederhana dan bersahaja. “Sebagai pemimpin Ketua Kamar MA, Artidjo sangat disiplin, patuh dan selalu menuntaskan tugas-tugasnya dengan baik tanpa menunggu perintah atasan, sehingga meringankan tugas saya sebagai Ketua MA,” ungkap Hatta.

 

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan susah mencari sosok teladan seperti Artidjo Alkostar. Baginya, keberadaan sosok Artidjo membuat rasa kepercayaan publik kepada institusi MA semakin meningkat. “Putusan-putusan hukuman berat Artidjo bagi para koruptor memberi ‘kesejukan’ bagi masyarakat. Ia penegak hukum yang berkarakter,” sebutnya.

 

  1. Trimoelja D. Soerjadi

Terngiang kembali ucapan sosok advokat langka di Tanah Air tercinta Indonesia. Sosok yang bangga menyebut dirinya ‘advokat pedesaan’ itu tak lain adalah almarhum Trimoelja Darmasetia Soerjadi. Tepat setahun silam hukumonline mendapatkan kesempatan berharga mewawancarai Pak Tri—begitu ia akrab disapa—secara khusus di kantor hukumnya di Surabaya. Wawancara khusus itu sekaligus menjadi perpisahan karena beberapa bulan kemudian Pak Tri tutup usia pada usia 79 tahun.

 

Entah apa yang akan diucapkan Pak Tri ketika faktanya daftar advokat yang ditangkap OTT KPK kian panjang. Belakangan, seorang advokat muda berusia 20-an yang baru dua tahun diambil sumpah sebagai advokat pun menjadi tersangka dalam OTT KPK. Ini belum termasuk para advokat yang terseret pusaran hitam kasus kliennya hingga berujung sama-sama duduk di kursi pesakitan.

 

Dunia hukum Indonesia semakin merindukan sosok teladan semacam Pak Tri. Salah satu yang layak dikenang dari sosoknya adalah kebersahajaan. Ia dikenal sebagai advokat yang menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah salah satunya. Kasus pembunuhan ini menjadi perhatian nasional dan internasional karena memperlihatkan represi kekuasaan terhadap aktivitas gerakan buruh.

 

Kali lain, Trimoelja menunjukkan komitmennya untuk membela kasus-kasus yang menimpa kalangan pers. Ia, misalnya, menjadi pengacara yang mengadvokasi gugatan terhadap keputusan Menteri Penerangan Harmoko. Sebaliknya, ia tak menolak mewakili tentara untuk menggugat media massa. Kasus Ahok menjadi kasus besar terakhir yang ditanganinya.

 

Puluhan tahun menjadi advokat, banyak di antara perkara yang ditanganinya tanpa honorarium. Di lain waktu, silih berganti pula datang klien yang siap membayar mahal asalkan kasusnya pasti menang. Namun jawaban Pak Tri tegas, “Maaf, Aanda bukan butuh lawyer semacam saya, cari saja lawyer lain.”

 

Seorang advokat junior pernah mengeluhkan sikap Trimoelja yang acapkali pilah pilih kasus dan banyak memberi layanan pro bono. Advokat junior itu mengatakan akan sulit ‘makan’ (mendapatkan nafkah) kalau meniru cara-cara Trimoelja. Kepada advokat junior, Trimoelja mengatakan bahwa sudah ada yang mengatur rezeki. “Rezeki datangnya dari Allah. Kalau kita di jalan yang lurus, semuanya apa  yang kita dapat itu kan barokah,” ujarnya.

 

Hukumonline.com

Trimoelja D Soerjadi saat ditemui Hukumonline akhir tahun lalu di kantornya di Surabaya. Foto: NEE

 

Ini bukan berarti Trimoelja selalu berkecukupan sehingga tak membutuhkan uang ketika menjalankan profesi advokat. Dalam wawancara dengan Hukumonline, ia mengaku pernah mengalami krisis keuangan luar biasa. Berbulan-bulan tak ada perkara yang datang untuk menjadi sumber pemasukan. “Jangan dikira perjalanan saya sebagai advokat itu mulus. Pernah dua kali saya krisis keuangan. Ember itu ibaratnya sudah kelihatan dasarnya,” kenangnya.

 

Nyatanya Pak Tri terus mampu bertahan dengan idealismenya. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan, ia menolak ketika diajak membuka kantor di Jakarta. Kantor sederhana yang dirintis di kampung halamannya terasa lebih menyenangkan. Kantornya di Jalan Embong Sawo No. 16 Surabaya terbilang sederhana untuk advokat sekaliber Trimoelja D Soerjadi. Kantor ini berupa dua bangunan berbentuk rumah satu lantai yang berdempetan.

 

Halamannya cukup luas dengan pagar bercat kombinasi warna merah dan putih. Namun hanya terparkir sebuah mobil ford hitam dan dua buah sepeda motor di sana. Gambaran soal kantor Trimoelja runtuh total saat memasuki pintu salah satu bangunan rumah yang tertempel tulisan jam buka dan tutup kantor. Hanya ada dua buah meja kerja di ruangan yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu. Pengakuan Trimoelja, selain satu orang sekretarisnya yang menyambut, hanya ada tiga advokat lain yang membantunya di kantor ini.

 

“Rumah keluarga, belum dibagi waris,” kata Trimoelja menjelaskan ihwal gedung kantornya saat wawancara berlangsung. Bangunan ini adalah rumah keluarganya sejak tahun 1953 tinggal di Jalan Embong Sawo.

 

Kesederhanaan kantornya tak menurunkan martabat dan prestasi kepengacaraan yang telah dibangun Pak Tri sejak puluhan tahun lalu. Sejarah mencatat banyak kasus yang sudah ditanganinya. Filosofi hidupnya dalam menjalankan profesi advokat begitu sederhana namun begitu agung.

 

“Filosofi saya, saya harus bekerja dalam koridor kode etik dan peraturan perundang-undangan. Saya adalah penegak hukum. Makanya saya katakan saya tidak akan pernah memberi nasihat dan belum pernah memberi nasihat kepada klien untuk tidak memenuhi panggilan (aparat penegak hukum lain),” ujarnya.

 

Di penghujung tahun 2018 yang masih penuh catatan muram dunia hukum Indonesia, Pak Tri adalah sosok langka yang tepat untuk dikenang khususnya oleh para advokat. Sosok advokat teladan nan bersahaja yang jauh dari bau busuk suap, korupsi, dan menghalalkan segala cara. Pertanyaannya, akankah kita melihat kembali keteladanan yang serupa—jika sama persis sudah begitu sulit diharapkan—dari para advokat Indonesia?

Tags:

Berita Terkait