Kisah Pengacara dan Gugurnya Pasal Penghinaan Presiden
Utama

Kisah Pengacara dan Gugurnya Pasal Penghinaan Presiden

Sejak dulu banyak aktivis dijerat dengan tuduhan menghina martabat presiden dan wakil presiden. Berkat permohonan pengacara dan aktivis, pasal penghinaan kepada presiden akhirnya gugur.

M. Yasin
Bacaan 2 Menit
Eggi Sudjana (kiri) dan kuasa hukumnya, Firman Wijaya (kanan) saat sidang pengujian pasal penghinaan presiden, tahun 2006. Foto: Humas MK
Eggi Sudjana (kiri) dan kuasa hukumnya, Firman Wijaya (kanan) saat sidang pengujian pasal penghinaan presiden, tahun 2006. Foto: Humas MK

Sri-Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman, Yenny Rosa Damayanti, Beathor Suryadi, Andrianto SIP, Monang J. Tambunan, mahasiswa UIN bernama Fahrur Rohman alias Paung, dan seterusnya. Daftar nama ini bisa terus bertambah jika ditelisik siapa saja yang pernah menjadi korban penggunaan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUH Pidana. Inilah pasal-pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden yang selama puluhan tahun dipakai secara elastis. Ia laksana karet, bisa ditarik memanjang sesuai selera penguasa.

Pasal-pasal itu sangat ampuh dipakai untuk menangkapi dan menghukum demonstran yang melayangkan kritik terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal-pasal itu ampuh dipakai untuk membungkam lawan politik presiden, tentu saja dengan memanfaatkan tangan kepolisian dan kejaksaan. Saat para aktivis penghinaan presiden itu disidangkan, mereka juga dibantu pengacara-pengacara ternama

Tetapi ketika pasal itu menjerat pengacara Eggi Sudjana dan aktivis Pandapotan Lubis pada tahun 2006, mereka tak terima. Eggi mengeluarkan pernyataan menjawab pertanyaan wartawan di lobi gedung KPK, Jalan Veteran Jakarta Pusat, pada 3 Januari 2006. Eggi mengatakan ingin mengklarifikasi rumor presiden menerima mobil Jaguar dari seorang pengusaha. Orang yang dituding membantah rumor tersebut, sedangkan Eggi dituduh menghina presiden.

Sebagai pengacara yang tahu hukum, Eggi mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUH Pidana ke Mahkamah Konstitusi. Meski bisa beracara, Eggi tetap memberikan kuasa kepada sejumlah pengacara untuk memperjuangkan judicial review itu. Ada Firman Wijaya, Nurlan HN, Welliam Suharto, Tina Tamher, M. Hadrawi, Dorel Almir, David M. Ujung, Weadya Absari, dan Hasraldi. Pandapotan Lubis juga didampingi lawyer dari Konsultan Hukum dan Kantor Klinik Hukum ‘Merdeka’, beranggotakan Irma Hattu, Marolop Tua Sagala, Sattu Pali, Brodus, Nixon Gans Lalu, dan Sabar Sigalingging.

Para pemohon menghadirkan saksi, yakni para korban penggunaan pasal-pasal penghinaan presiden. Empat orang ahli pidana, Prof. Mardjono Reksodiputro, Prof. Andi Hamzah, Prof. J.E Sahetapy, dan Sutito tampil sebagai ahli. Persidangan di Mahkamah Konstitusi berlangsung selama empat bulan.

Prof. Mardjono dan Prof. Sahetapy berpandangan pasal-pasal penghinaan presiden tak perlu diberlakukan lagi. Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokrasi modern, delik penghinaan tidak boleh penghinaan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah. Penghinaan terhadap pejabat presiden cukup menggunakan penghinaan pada umumnya, Pasal 310-321 KUHP.

Prof. Andi Hamzah lebih melihat penerapan norma pasal-pasal penghinaan presiden oleh jaksa, bukan pada normanya. Jaksa pula yang punya otoritas menentukan apakah suatu perkara penghinaan presiden berlanjut atau dikesampingan menggunakan asas oportunitas.

Upaya Eggi Sudjana tak sia-sia. Disertai dissenting opinion, Mahkamah menyatakan Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945, dan karena itu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah berpendapat pasal penghinaan kepada presiden menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan. Ketika dipakai aparat penegak hukum terhadap demonstran, Pasal 134, 136 bis, dan 137 ‘berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi.

Bahkan pasal itu bisa dipakai ketika ada upaya hukum terhadap presiden manakala ada dugaan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945. Upaya melakukan klarifikasi kepada presiden atas dugaan pelanggaran hukum, yang diatur Pasal 7A UUD 1945, berpeluang ditafsirkan sebagai penghinaan kepada presiden.

Meskipun berhasil ‘menggugurkan’ nyawa Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP, Eggi tetap dihukum pengadilan. Proses hukumnya hingga ke tingkat peninjauan kembali. Ia tetap dihukum tiga bulan percobaan.

*****

Pasal penghinaan kepala negara telah menjerat banyak aktivis sejak masa kemerdekaan sampai masa reformasi. Mulai dari aktivis nasional, hingga mahasiswa di daerah. Jumlah pastinya tak diketahui. Putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah ‘menghapuskan’ peluang penggunaan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP, meskipun pasal penghinaan lain tetap bisa dipakai.

Saat meluncurkan buku ‘Tafsir Konstitusi, Berbagai Aspek Hukum’ di aula Fakultas Hukum Universitas Sahid, 20 November 2011, Taufiqurrahman Syahuri mengungkap impian agar kelak presiden-presiden Indonesia tak menggunakan Pasal 134 KUHP. Sepanjang pengetahuan komisioner Komisi Yudisial itu, hanya Presiden Gus Dur dan Presiden BJ Habibie yang tak pernah menggunakan Pasal 134 KUHP, atau tak digunakan aparat penegak hukum di bawah presiden untuk membungkam aktivis.

Meskipun perbuatan demonstran pada hakikatnya sudah dapat dinilai melanggar pasal penghinaan, kata Taufiq, Habibie dan Gus Dur tak pernah mengadukan langsung atau meminta polisi menerapkan Pasal 134 KUHP. Menurut dia, langkah aparat menerapkan pasal karet warisan Belanda itu sangat bergantung pada karakter seorang pemimpin.

Tags:

Berita Terkait