Memahami Klausula Baku dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen
Utama

Memahami Klausula Baku dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen

Klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha harus mengedepankan prinsip keseimbangan, keadilan dan kewajaran.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

Ketua KKI David M.L Tobing mengatakan bahwa klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha harus mengedepankan prinsip keseimbangan, keadilan dan kewajaran. Jika tidak diterapkan, prinsip-prinsip tersebut dapat mengakibatkan perjanjian dibatalkan oleh pengadilan.

David mengingatkan bahwa dalam hukum perdata terdapat pembatasan asas kebebasan berkontrak. Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila dinilai pembuatan dan/atau pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan peraturan, kesusilaan, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan keadilan. Hakim sebagai pembentuk hukum (judge made law) berwenang menambah, mengurangi atau meniadakan syarat-syarat yg ditentukan dalam kontrak. (Baca: Terjadi Sengketa, Konsumen Diimbau Selesaikan Secara Non-Litigasi)

“Asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata tidak bersifat absolut, dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya dan menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan,” kata David, Kamis (10/2).

Pada dasarnya klausula baku diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pasal 1 ayat 10 UUPK menyatakan “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Sementara pada Penjelasan Pasal 22 ayat (1) POJK no. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, “Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan, dan digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal ”

Meski klausula baku tidak dilarang, namun terdapat beberapa hal yang dilarang dicantumkan dalam klausula baku seperti pengalihan tanggungjawab pelaku usaha, penolakan pengembalian barang/uang yang sudah dibayar, konsumen tunduk pada aturan baru, perubahan, dan lanjutan, kuasa melakukan tindakan sepihak terhadap barang angsuran, mengurangi manfaat/ harta kekayaan konsumen, dan perihal pembuktian konsumen.

Akibat dari pelanggaran klausula baku menyebabkan perjanjian batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UU PK, “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan BATAL DEMI HUKUM.”

Selain itu Pasal 62 ayat (1) UU PK juga mengatur sanksi pidana atas pelanggaran klausula baku yang dilakukan pelaku usaha, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan PASAL 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Mengikuti perkembangan zaman, terdapat perjanjian baku berbentuk digital atau elektronik untuk ditawarkan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan melalui media elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 POJK No. 1/POJK.07/2013.

David meminta konsumen untuk memahami kontrak elektronik saat bertransaksi di pasar digital. Kontrak elektronik dianggap sah apabila terdapat kesepakatan para pihak; dilakukan subjek hukum yang cakap/berwenang mewakili sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; terdapat hal tertentu; dan objek transaksi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Kontrak elektronik paling sedikit harus memuat data identitas para pihak; objek dan spesifikasi; persyaratan transaksi elektronik; harga dan biaya; prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak; ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Perdagangan secara digital turut membuka peluang terjadinya sengketa secara digital. Selain keberadaan UUPK, pemerintah sendiri telah berupaya memberikan payung hukum perlindungan konsumen di sektor digital dan penyelesaian sengketa lewat PP No. 80/2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

PP PMSE mengatur beberapa hal seperti pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur, materi iklan elektronik dilarang bertentangan dengan hak konsumen dan prinsip persaingan usaha yang sehat, penawaran secara elektronik dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan, dan mengatur informasi dalam kontrak elektronik.

Kemudian PP PMSE juga mengatur bahwa dalam setiap pengiriman barang, pelaku usaha harus memastikan keamanan barang, kelayakan kondisi barang, kesesuaian barang, ketepatan waktu pengiriman, wajib menyelesaikan perselisihan apabila ada ketidaksesuaian antara jangka waktu aktual dengan jangka waktu yang disepakati, penukaran barang atau pengembalian dapat dilakukan jika terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian antara barang yang dikirim, jangka waktu pengiriman, cacat tersembunyi, rusak, atau kadaluarsa.

Menurut Mantan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir, beberapa permasalahan yang muncul dalam transaksi digital adalah barang diterima terlambat, tidak sesuai janji waktu pengiriman, pelaku usaha mengirim barang tidak sesuai pesanan, barang yang diterima dalam kondisi rusak, pelaku usaha mengklaim kerusakan bukan dari toko, dan pelaku usaha hanya mau bertanggung jawab untuk produk yang tidak sesuai.

Jika terjadi demikian, Husna menyebut konsumen memiliki tiga pilihan yakni mengembalikan produk sebagian atau seluruhnya, menerima produk dengan kondisi yang ada, atau menerima produk dengan meminta kompensasi. Namun apabila tiga pilihan tersebut tidak mungkin dilakukan, konsumen dapat memilih mekanisme penyelesaian sengketa yang ada yakni secara langsung melalui mekanisme online: toko dan/atau platform (jika platform membenarkan tindakan toko dan tidak mau turut bertanggung jawab), melalui LPKSM setempat: klarifikasi online dan/atau mengundang mediasi, dan melalui BPSK dengan mengundang para pihak.

“Kalau sengketa di belanja online itu ada dua hal apakah belanja di platform resmi atau tidak. Yang sering terjadi itu dilakukan individu melalui FB atau IG dan ini agak sulit ditindaklanjuti. Kalau platform belanja resmi sangat mungkin dilakukan (tindak lanjut) jika pihak toko tidak merespon karena penipuan atau produk tidak sesuai. Karena platform bertanggung jawab terhadap penjual jadi komplain bisa diajukan ke platform,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait