Koalisi Ingatkan Dampak Buruk Perpindahan Ibukota
Berita

Koalisi Ingatkan Dampak Buruk Perpindahan Ibukota

​​​​​​​Perpindahan ibukota dianggap menguntungkan kelompok politik tertentu.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Menurut Zenzi perpindahan ibukota ini tidak memberi keuntungan bagi masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya yakni bakal merampas ruang hidup. Koalisi mencatat mega proyek itu membutuhkan lahan sekitar 180.000 hektar di kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kertanegara, provinsi Kalimantan Timur. Melalui sejumlah regulasi seperti Inpres No.5 Tahun 2019 pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan dengan mudah, termasuk untuk membangun ibukota baru. Artinya, masyarakat yang selama ini memanfaatkan hutan seperti masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal ruang hidupnya terancam.

 

Zenzi mengingatkan sampai saat ini pemerintah belum memiliki kajian yang lengkap terkait rencana perpindahan ibukota dan dampaknya terhadap sosial dan lingkungan hidup. Presiden Jokowi menyebut perpindahan ibukota ini harus menggunakan cara berpikir baru, tapi Zenzi tidak melihat implementasinya di lapangan.

 

“Kalau begini, maka tujuan membangun smart city tidak akan tercapai. Rencana perpindahan ibukota harus diawali kajian dan melibatkan masyarakat sipil,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (17/12).

 

Koordinator Jatam, Merah Johansyah, menilai rencana perpindahan ibukota ini menguntungkan oligarki dan kelompok politik tertentu. Menurutnya pemerintah akan melakukan lebih banyak negosiasi dengan perusahaan pemilik konsesi di atas 180.000 hektar lahan yang akan dibangun ibukota baru itu daripada bernegosiasi dengan rakyat. Jatam mencatat sedikitnya ada 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU Batubara di lokasi tersebut.

 

Merah menemukan sejumlah nama yang berpotensi menerima manfaat atas proyek ibukota baru yakni politisi nasional dan lokal, serta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif. Rencana perpindahan ibukota ini menurut Merah lebih bersifat komoditas politik karena ide ini muncul menjelang proses sengketa pemilu Presiden 29 April 2019.

 

“Mega proyek ini adalah komoditas politik. Dagangan politik yang ditawarkan pada sederet pengusaha, pendukung kubu penguasa dan lawan politiknya. Ujung-ujungnya menguntungkan oligarki,” tegasnya.

 

Bagi Merah rencana ini tidak layak disebut sebagai kebijakan publik karena prosesnya tanpa melalui konsultasi publik. RUU tentang ibukota baru juga belum diajukan untuk dibahas bersama DPR sehingga sampai sekarang rencana perpindahan dan pembangunan ibukota baru itu belum memiliki dasar hukum. Atas dasar itu koalisi menuntut rencana ini dibatalkan dan memprioritaskan APBN untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Serta memulihkan krisis sosial ekologi yang terjadi di Jakarta dan Kalimantan Timur.

Tags:

Berita Terkait