Koalisi Sudah Menduga Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Bakal Dituntut Minimal
Terbaru

Koalisi Sudah Menduga Pelaku Pelanggaran HAM Berat Paniai Bakal Dituntut Minimal

JPU menuntut terdakwa, Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu, dengan pidana selama 10 tahun.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Sebagaimana dugaan banyak pihak, Fatia mengatakan terdakwa hanya sebagai kambing hitam. Upaya melanjutkan proses hukum hanya terhadap satu terdakwa ditengarai sebagai misi untuk merekonstruksi konsep pertanggungjawaban komando yang dibuat seolah memungkinkan bahwa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat bisa dibebankan ke salah satu orang saja.

Padahal tanpa pengenaan pasal rantai komando, tiap orang yang melakukan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan dalam UU No.26 Tahun 2000 juga patut dituntut oleh negara. Uraian yang dicantumkan dalam berkas tuntutan yang nafasnya tak berbeda jauh dengan berkas dakwaan disebabkan karena komposisi saksi yang didominasi oleh unsur aparat baik dari TNI maupun POLRI. Narasi-narasi berupa tindakan kekerasan dan perilaku tidak pantas dari korban dan masyarakat selalu didengungkan seolah untuk dijadikan pembenaran.

“Meskipun jika benar adanya tindakan kekerasan dari warga, sistem hukum tidak membenarkan adanya tindakan tidak terukur yang berujung dengan kejahatan kemanusiaan. Dalam sistem hukum pidana yang berkeadilan, warga yang tertangkap tangan melakukan kekerasan tetap harus menempuh proses yang bebas dari penyiksaan dan ketidakadilan apalagi pembunuhan di luar proses hukum,” urai Fatia.

Fatia juga mencatat salah satu narasi yang dijadikan alasan yang meringankan terdakwa namun tidak ada kaitannya adalah bahwa ada keterangan dari saksi perihal telah ada bantuan sebesar Rp 300 juta dari Pemerintah Daerah Paniai kepada para korban. Keterangan yang tidak diuji di pengadilan nihil partisipasi korban ini sangat sesat apabila dijadikan alasan yang meringankan.

Selain soal sumber aliran dana yang bukan dari pelaku melainkan pihak pemerintahan, Fatia berpendapat pemulihan para korban tidak bisa dijadikan sandaran untuk meringankan apalagi menihilkan pertanggungjawaban pelaku. Derita korban pelanggaran HAM berat jelas melampaui urusan sosial ekonomi dan patut disesalkan bahwa Kejaksaan Agung tidak sensitif terhadap para korban dan publik. Serta tidak memberikan penegakan hukum bagi masyarakat sipil khususnya Orang Asli Papua.

“Dengan kondisi persidangan seperti ini, ekspektasi akan terungkapnya kebenaran, dituntut dan diadilinya seluruh pelaku, pemulihan para korban hingga jaminan ketidak berulangan dengan salah satunya berupa koreksi dan evaluasi TNI-POLRI di Peristiwa Paniai 2014 sepertinya masih jauh di awang-awang,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait