Komnas HAM: Penegakan Pidana Tidak Boleh Melanggar HAM
Terbaru

Komnas HAM: Penegakan Pidana Tidak Boleh Melanggar HAM

Antara lain dilarang melakukan penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat lainnya serta pidana tidak berlaku surut.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas HAM. Foto: Istimewa
Kantor Komnas HAM. Foto: Istimewa

Aparat kepolisian berperan penting dalam proses penegakan hukum, antara lain terkait pidana. Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mencatat kinerja kepolisian selalu menjadi sorotan publik terutama dalam penegakan hukum pidana. Aparat kepolisian memiliki tanggung jawab yang penting dalam penegakan hukum pidana.

Amir mencatat ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang perlu direspon serius Polri, misalnya dalam penanganan delik dan perbuatan pidana. "Delik pidana dan perbuatan pidana terus berkembang. Diperlukan pengetahuan, alat dan kerja yang baru," kata Amiruddin Al Rahab sebagaimana dikutip laman komnasham.go.id, Sabtu (29/10/2022) lalu.

Menurut Amir, pengetahuan, alat, dan cara kerja baru diperlukan untuk mencapai rasa keadilan, akuntabilitas, dan memenuhi unsur saintifik. Dalam konteks hukum pidana terdapat beberapa pidana baru yang perlu diketahui dan dipahami oleh aparat penegak hukum. "Seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Pengadilan HAM, UU Keolahragaan. Apakah aparat kepolisian mendapatkan sosialisasi terkait UU ini?" ucapnya.

Amir melihat salah satu tantangan yang dihadapi aparat kepolisian ke depan yakni ketika RUU KUHP disahkan menjadi UU. Ada sejumlah ketentuan yang perlu dicermati seperti delik demonstrasi yang mengakibatkan timbulnya keonaran. Perlu ditelusuri lebih jauh apakah perbuatan pidananya menunggu ketika keonaran terjadi lebih dulu atau cukup hanya adanya potensi?

“Hal itu sangat serius karena terkait hak kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin UU sebagai bagian dari HAM,” tegas Amir.

Terakhir, Amir menegaskan penegakan hukum pidana tidak bisa melanggar nilai-nilai HAM. Ia mengingatkan pentingnya pemenuhan semua hak yang diberikan oleh UU dan HAM dalam seluruh prosesnya. Misalnya dilarang melakukan penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat lainnya serta pidana tidak berlaku surut.

Sebelumnya, Laporan Amnesty International Indonesia berjudul Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia, melaporkan sejumlah temuan selama periode Januari 2019-Mei 2022 yang intinya menunjukkan beberapa tahun terakhir kebebasan sipil di Indonesia terancam. Laporan itu menjelaskan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul dan berserikat secara damai diatur kovenan Sipol (ICCPR).

Pasal 19 ICCPR menjelaskan setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa gangguan; kebebasan untuk menyatakan pendapa. Hak itu termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apapun terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis, atau bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

Dalam ICCPR berbagai hak tersebut tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi. Tapi, pembatasannya wajib berlandaskan pada ketentuan hukum dan dilakukan ketika perlu dan tidak berlebihan untuk meraih tujuan yang spesifik dan mendesak yaitu demi menghargai hak orang lain, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan atau moral publik.

Dalam laporan itu, Amnesty International mengingatkan Komite HAM PBB yang memiliki mandat untuk memantau kepatuhan negara-negara terhadap ICCPR menyatakan dalam Komentar Umum Nomor 34 tentang hak atas kebebasan berekspresi bahwa “jika sebuah negara melakukan pembatasan, negara tersebut wajib menunjukkan adanya ancaman yang spesifik dan mengapa pembatasan perlu diambil secara tidak berlebihan, terutama dengan menunjukkan hubungan yang langsung dan segera antara sebuah ekspresi dengan ancaman yang dihasilkannya. Lebih jauh lagi, pembatasan tidak boleh mencederai hak itu sendiri.”

Komentar Umum PBB itu menegaskan pembatasan yang dilakukan hanya karena sebuah ekspresi dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah atau membingkai pemerintah secara negatif bukan merupakan landasan pembatasan yang sah. Di tingkat domestik, hak atas kebebasan berekspresi diatur di Pasal 28, 28E, 28E (3), dan 28F UUD NKRI Tahun 1945. Hak ini juga diatur di UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Tags:

Berita Terkait