Komnas HAM Tolak Rancangan Perppu Kebiri
Berita

Komnas HAM Tolak Rancangan Perppu Kebiri

Hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi.

ADY
Bacaan 2 Menit
Komisioner Komnas HAM (dari kiri ke kanan) Roichatul Aswidah, Siti Noor Laila, danSandriyati Moniaga, menyampaikan sikap Komnas HAM terkait kebiri, Jakarta (15/2). Foto: RES
Komisioner Komnas HAM (dari kiri ke kanan) Roichatul Aswidah, Siti Noor Laila, danSandriyati Moniaga, menyampaikan sikap Komnas HAM terkait kebiri, Jakarta (15/2). Foto: RES
Komnas HAM menolak rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang memberi penghukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. Komisioner Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengatakan rancangan Perppu itu mengusulkan perubahan diantaranya pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014.

Penolakan Komnas HAM antara lain karena substansinya berpotensi melanggar HAM. Rancangan Perppu berusaha mengubah Ppasal 81 ayat (4) UU Perlindungan Anak agar mencantumkan pelaku kejahatan seksual anak agar pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta dijatuhi pidana tambahan berupa hukuman kebiri kimia paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.

Penjelasan pasal itu menyebut yang dimaksud dengan kebiri kimia adalah memasukan bahan kimiawi anti-androgen, baik melalui pil atau suntikan ke dalam tubuh pelaku tindak pidana kejahatan seksual dengan tujuan untuk memperlemah hormon testosteron.

Walau memahami masalah kejahatan seksual terhadap anak terjadi sangat serius dan dibutuhkan langkah luar biasa untuk mengatasinya Laila mengatakan Komnas HAM menilai Perppu Kebiri itu tidak akan menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Penyebab kekerasan seksual tidak sekadar penetrasi alat kelamin tapi menyangkut psikologis dan sosial. Itu sebabnya penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual perlu menggunakan cara dan ditujukan dengan berpedoman pada HAM. “Komnas HAM menolak Perppu Kebiri,” kata Laila dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (15/2).

Hukuman kebiri dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi karena bertentangan dengan Pasal 28G ayat (2) UUD 1945. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat lewat UU No. 5 Tahun 1998.

Hkuman yang dijatuhkan kepada pelaku kekerasan seksual harus mengacu peraturan yang berlaku dan harus diberikan pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis dan sosial. Selain itu Laila melihat penerapan hukuman kebiri itu akan rumit implementasinya. Sebab dalam penjatuhan sanksi pidana eksekutornya kejaksaan, sedangkan kebiri adalah tindakan medis sehingga dibutuhkan peran dokter.

Laila mengingatkan dalam melakukan tindakan medis, dokter berpegang teguh pada kode etik kedokteran. Salah satu yang tertuang dalam kode etik kedokteran yakni dokter tidak akan melakukan tindakan medis atas dasar hukuman. Dokter juga tidak akan melakukan tindakan medis yang dampaknya menurunkan derajat kesehatan fisik dan psikis. Secara medis, suntikan hormon dalam tubuh manusia akan berdampak pada fungsi tubuh yang lain.

Komnas juga mempertanyakan pengawasan atas pelaku kejahatan yang telah mendapat suntikan agar suntikan diberikan rutin. Lagi-lagi Laila mengingatkan masalah kejahatan seksual tidak sekadar masalah penetrasi alat kelamin, tapi terkait banyak hal seperti cara pandang. Misalnya, dalam budaya patriaki anak dianggap sebagai properti. Sejalan itu maka upaya pencegahan perlu dilakukan secara masif seperti menggelar pendidikan pengenalan fungsi tubuh atau seks sejak dini. Sehingga anak mengetahui mana tindakan yang masuk pelecehan atau tidak.

Laila mengapresiasi daerah yang telah menggelar pendidikan seksual di sekolah dalam rangka mencegah terjadinya kekerasan seksual. Salah satu daerah yang sudah menerapkan yakni kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Begitu pula pendidikan terhadap orang tua perlu dilakukan agar bisa melakukan antisipasi agar anak terhindar ancaman kejahatan seksual, sebab sebagian besar pelakunya yakni orang yang dikenal. “Kejahatan seksual itu tidak melulu terkait dengan nafsu, tapi juga cara pandang,” ujarnya.

Komisioner Komnas HAM lainnya, Roichatul Aswidah, menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan kejahatan seksual diantaranya psikologis, medis (fisik) dan sosial. Ia menilai Perppu Kebiri tidak bisa mengatasi persoalan itu karena tidak menuntaskan penyebab terjadinya kejahatan seksual. “Penanganan terhadap kejahatan seksual harus ditempatkan dalam konteks yang menyeluruh. Misalnya, bagaimana secara sosial memposisikan anak dan perempuan sebagai subyek, bukan obyek,” urainya.

Rekan Roichatul di Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, menegaskan setiap orang punya hak untuk mengetahui dan menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tanpa persetujuan orang yang bersangkutan maka tindakan medis tidak bisa dilakukan. “Jika Perppu itu diterbitkan apakah penetapan atau putusan pengadilan bisa dijadikan dasar untuk melakukan tindakan medis berupa kebiri kepada pasien?,” ucapnya.

Sandrayati meragukan Perppu Kebiri dalam menurunkan jumlah kekerasan seksual. Menurutnya sampai saat ini belum ada kajian yang menunjukan hukuman kebiri berdampak signifikan menurunkan jumlah kekerasan seksual. Apalagi kebiri yang dilakukan dengan cara menyuntik hormon sifatnya sementara sehingga tidak ada jaminan setelah disuntik si pelaku tidak akan melakukan kejahatan seksual kembali.
Tags:

Berita Terkait